Rabu, 27 September 2017

Stereotipe Penghalang Cinta


“Mencintai lebih kompleks dibandingkan menyukai, sehingga lebih sulit untuk diukur , lebih membingungkan untuk diteliti. Orang mendambakannya, hidup untuknya, mati untuknya.”

            Kalimat diatas adalah definisi cinta dalam buku Psikologi Sosial Robert A Baron & Donn Byrne jilid 1. Tahukah kalian bahwa Psikologi, khususnya Psikologi Sosial juga menjadikan 'cinta' sebagai objek kajian, bahwa cinta itu terdiri dari 2 jenis. Ada yang disebut Companionate Love, yakni jenis cinta yang bisa dibilang adalah bentuk cinta sejati, serta ada pula yang disebut Passionate Love, yakni jenis cinta yang hanya dilandasi gairah semata sehingga lebih bersifat fana.
            Secara umum salah satu faktor yang membuat seseorang tertarik kepada orang lain adalah karena adanya kemiripan diantara mereka, bisa karena memiliki hobi yang sama, makanan kesukaan yang sama atau bahkan karena berasal dari suku yang sama. Lalu adakah kemungkinan seseorang menyukai orang yang justru memiliki perbedaan yang signifikan dengan dirinya, ambil contoh si A yang penyuka makanan pedas jatuh cinta pada si B yang penyuka makanan manis, atau si C yang penyuka film horor jatuh cinta pada si D yang bahkan sama sekali tak suka menonton film jenis apapun? Bukankah hubungan yang akan terjalin justru akan sangat berwarna, sebuah hubungan yang saling melengkapi. Jawabannya mungkin saja, namun berdasarkan penelitian secara umum seseorang akan lebih tertarik secara personal kepada orang yang juga memiliki kesamaan dengan dirinya.
            Dari pembukaan tentang definisi cinta diatas, kali ini aku akan menceritakan kisah cinta driver ojek online yang telah beberapa kali mengantarku ke kampus maupun ketempat kerja, Allah mentakdirkan jarak rumah kami cukup berdekatan, sehingga tak jarang ketika aku memesan ojek online, beliaulah driver yang tertangkap oleh radar .. hehe
            Beliau bernama Pak Amin, telah cukup lama pensiun setelah 20 tahun lebih bekerja di sebuah perusahaan. Beliau memiliki 3 orang anak yang semuanya telah menjadi sarjana, anak pertama sudah menikah dan memiliki seorang anak, karenanya Pak Amin ini adalah seorang kakek, anaknya yang kedua akan melangsungkan pernikahan beberapa bulan mendatang, sedangkan si bungsu yang baru wisuda sedang menunggu panggilan kerja setelah selesai melakukan wawancara beberapa hari sebelumnya.
            Sore itu saat perjalan menuju kampus sepanjang jalan aku mendengarkan kisah cinta Pak Amin, dimulai ketika pak Amin memberikan saran yang membuatku spontan bertanya, “loh, kenapa memangnya pak?”
            Pak Amin memberikan saran padaku jika kelak aku akan menikah maka pilihlah orang yang berasal dari suku Jawa, pak Amin berkata kalau orang Jawa itu rajin bekerja dan itu akan menjadi modal yang bagus dalam berumah tangga. Meski secara terang-terangan pak Amin menyatakan bahwa orang yang berasal dari suku Jawa itu lebih unggul, ternyata Pak Amin sendiri asli Betawi, lahir serta tumbuh besar dilingkungan Betawi yang kental.
            Beliau lalu bercerita bahwa istrinya adalah orang Jawa, mereka bekerja di tempat yang sama. Pak Amin seorang mekanik sedang istrinya adalah seoarang admin di perusahaan tersebut. Maka benarlah pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya, jodoh berlabuh tak jauh dari lingkungannya”. Pun teori hubungan interpersonal dalam psikologi sosial juga sepakat bahwa jarak yang dekat memungkinkan manusia untuk lebih mudah berinteraksi, jika saling tertarik maka interaksi yang akan terjalin menjadi semakin intens dan pada akhirnya timbulkan kelekatan sebagai bakal tunas yang nantinya dapat tumbuh menjadi cinta.
            Kembali pada kisah cinta Pak Amin, meski Pak Amin dan sang istri berasal dari suku yang berbeda, yang sudah pasti membuat mereka juga memiliki beberapa sifat yang berbeda pula ( tak dapat di pungkiri, faktor budaya yang melekat pada seorang individu akan berpengaruh besar terhadap sikap yang dimilikinya), Pak Amin dan sang istri tetap saling jatuh cinta, sebuah hubungan cinta yang saling melengkapi.
            Tibalah saat dimana mereka berniat untuk menikah, keinginan tersebut disampaikan kepada keluarga masing-masing, tak disangka kedua belah pihak keluarga sama-sama menentang hubungan mereka. Penyebabnya adalah karena perbedaan suku. Keluarga pak Amin memiliki stereotipe bahwa orang yang berasal dari suku jawa itu matrelialistis, pun sama halnya dengan keluarga istri Pak Amin, mereka memiliki stereotipe yang tak kalah mengherankan menurutku, bahwa orang betawi itu pemalas dan tukang kawin.
            Meski ditentang, karena perasaan cinta yang sungguh mendalam mereka tetap melangsungkan pernikahan tanpa restu kedua belah pihak keluarga. Sampai tiba saatnya setahun setelah pernikahan , istri pak Amin melahirkan anak pertamanya, dengan intonasi sedih mengenang kejadian itu pak Amin bercerita bahwa tak ada satupun keluarga dari pihak istri yang datang untuk menjenguk, meski keluarga dari pihak Pak Amin telah lebih dulu luluh dan akhirnya memberikan restu. Dari kejadian itu Pak Amin bertekat untuk membuktikan kepada keluarga sang istri bahwa anggapan mereka mengenai orang Betawi yang pemalas dan tukang kawin itu salah dengan cara terus bekerja dengan giat dan selalu menomorsatukan keluarga. Setelah kelahiran anak kedua barulah keluarga istri Pak Amin mulai luluh,  dan hingga detik ini mereka hidup rukun serta bahagia.
            Dari kisah Pak Amin aku belajar bagaimana stereotipe itu tak jarang menyesatkan penilaian kita terhadap orang lain, anggapan kita terhadap orang lain menjadi tidak objektif dan hal itu jelas-jelas tidak adil karena merugikan.
            Apa itu stereotipe? Stereotipe adalah penilaian kita terhadap seseorang berdasarkan karakteristik tertentu dari kelompok dimana orang tersebut tinggal, dan sudah pasti stereotipe ini belum tentu benar. Dalam kasus Pak Amin kita bisa lihat dengan jelas bagaimana stereotipe keluarga istri pak Amin tentang orang Betawi yang malas dan tukang kawin berakibat pada cara mereka menilai pak Amin. Ketika mereka beranggapan orang Betawi itu pemalas dan tukang kawin maka secara otomatis, pak Amin yang juga orang betawi  dicap sebagai pemalas dan tukang kawin pula. Padahal kenyataannya waktu membuktikan bahwa anggapan tersebut salah, Pak Amin bukan pemalas, ia jusru sangat giat bekerja bahkan hingga sekarang, usai pensiunpun beliau tetap bekerja, beliau juga bukan tukang kawin, karena setelah berpuluh-puluh tahun menikah toh Pak Amin tetap setia pada satu istri.
            Jadi mari belajar dari kisah Pak Amin, bahwa kita tidak boleh melakukan stereotiping pada seseorang, menilai seseorang hanya berdasarkan tempat dimana orang tersebut berasal, atau dari kelompok dimana orang tersebut tinggal. Meski tak dapat dipungkiri lingkungan tempat tinggal mempengaruhi kepribadian seseorang namun jangan pula tutup mata bahwa banyak stereotipe yang berkembang di masyarakat kebenarannya masih perlu dipertanyakan.

            Psikologi Humanistik beranggapan bahwa setiap individu itu unik, bahkan saudara kandung yang kembar identikpun pasti memiliki perbedaan, jadi kita tidak boleh menyamarakatan seseorang dengan orang lain meski itu dengan kelompok dimana orang tersebut lahir dan tumbuh sekalipun.


It's ok not to be ok

Sebagian besar orang, jika mengalami suatu kejadian khusus maka mereka akan sangat ekspresif menunjukkan keadaan emosi yang sedang mereka rasakan, sedih menangis, senang tertawa, marah membentak, galau termenung. Namun ada pula tipe orang yang tidak seekspresif itu berkaitan dengan emosi yang sedang ia rasakan.

Kemarin malam aku membaca beberapa artikel psikologi diinternet, ada sebuah kalimat yang membuatku sangat tertarik karena membuatku berpikir ulang mengenai kebiasaanku. Aku memiliki kebiasaan untuk berkata “tidak apa-apa” kediri sendiri ketika mengalami hal yang tidak menyenangkan. Termasuk ketika mengalami kondisi menyedihkan sekalipun, dengan sok ‘bukan manusia biasa’ aku akan berkata “sudah, jangan sedih” atau kalimat semacamnya,  yang intinya secara tidak langsung melarang diri sendiri ‘merasakan sedih’.  Lalu eng ing eng, tiba-tiba aku membaca sebuah kalimat yang berbunyi “it’s ok not to be ok”  dengan imbuhan kalimat “Rememember to be kind to yourself too”.

Dengan melarang diri sendiri merasa sedih apakah artinya aku sudah berbuat baik pada diriku sendiri? Selama ini aku menolak ‘not to be ok’ dan selalu memaksa diri sendiri untuk ‘it’s ok’.  Padahal ‘it’s ok not to be ok’ kok. Mmmm ??? Jadi mari kita bongkar

Dimulai dari definisi emosi itu sendiri, emosi dalam bahasa latin memiliki arti “move out” (bergerak keluar). Emosi (emotion) merupakan gabungan kata e untuk energi dan motion untuk pergerakan, sehingga emosi menggerakkan kita untuk bertindak agar dapat bertahan dari ancaman, mendapat kedekatan sosial, dan prokreasi (Gentry, 2007).

Ya, jadi emosilah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ataupun menghindari suatu situasi. Maka dapat dikatakan normal ketika seseorang yang sedih karena patah hati kemudian menangis, atau orang yang takut ketika melihat ular kemudian lari terbirit-birit.

Jadi jika kamu patah hati dan merasa sedih lalu bilang kediri sendiri “sudah, tidak apa-apa jangan sedih” itu tidaklah dibenarkan. Karena akan menjadi tidak normal ketika alarm yang diberikan adalah emosi sedih namun tingkah laku yang ditunjukkan justru biasa-biasa saja atau malah gembira. Lain cerita jika kita mengidap apa yang disebut Alexithymia yakni gangguan psikologis dimana pengidapnya tidak mampu untuk mengidentifikasi serta mendiskripsikan secara verbal emosi yang dialaminya.

Ada yang pernah nonton drama korea berjudul Cheese In The Trap? Aku pernah, dan menurutku pemeran utama laki-laki dalam drama tersebut mengalami Alexithymia, Yoo Jung kecil hanya diperbolehkan menunjukkan perilaku ramah didepan semua orang, sehingga ketika ia marah ia tidak menunjukkan kemarahannya. Meski tak menunjukkan kemarahannya ia tetap dendam dan akan balik membalas dengan cara-cara yang bisa dibilang sadis namun ia sendiri menganggap hal tersebut wajar, Yoo Jung dewasa bahkan mengakui bahwa ia tidak merasa perlu mengerti perasaan orang lain, karena orang lainpun tak mau berusaha mengerti perasaanya. Jadi ketika ia membalas perbuatan jahat orang lain ia tak pernah berpikir bahwa hal itu akan “semenyakitkan itu” bagi orang tersebut.

Kegiatan memantrai diri dengan bilang jangan sedih mengingatkanku pula pada salah satu dari 8 mekanisme pertahanan diri ala Freud, yakni represi. Represi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri dengan cara menekan pengalaman-pengalaman yang tidak diinginkan kealam bawah sadar. Berdasarkan psikoanalisis Freud kita juga tahu bahwa pengalaman-pengalaman bawah sadar dari masa lalu bisa saja muncul dimasa yang akan datang dalam bentuk yang bisa jadi tidak kita inginkan, seperti trauma misalnya, atau perilaku menyimpang lainnya. Jika terus dilakukan, menekan perasaan sedih kealam bawah sadar dan tidak mengekspresikannya, bukan tidak mungkin dimasa mendatang kesedihan yang di repres tersebut akan muncul kembali dan berubah menjadi kelaian psikologis. Dalam kasus Yoo Jung pun seperti itu, represi emosi yang tidak dapat diekspresikan dari masa lalu muncul dimasa depan dalam bentuk perilaku antisosial yang menjadikannya tidak berempati pada perasaan orang lain.

Karenanya kurasa sangat penting bagi kita untuk dapat mengekspresikan emosi yang kita rasakan sesuai dengan porsinya dan tidak berlebihan. Kita tidak harus selalu dalam keadaan ‘positif’ setiap saat, pasti akan selalu ada saat dimana kita marah karena suatu hal, hal tersebut normal, marahlah asal jangan mendendam. Pun akan ada saat dimana kita sedih, itu juga normal, maka besedih dan menangislah asal jangan berlebihan. Mulailah menyayangi diri sendiri seutuhnya, bukan hanya pada saat merasakan bahagia saja kita melakukan pengakuan “aku bahagia”, pada saat sedihpun kita boleh membuat pengakuan pada diri sendiri “aku sedih”. Jadi ketika suatu saat nanti aku merasa sedih, aku akan mengakuinya, aku akan bilang pada diriku sendiri, ya aku merasa sedih, itu normal dan manusiawi, menangislah jika perlu karena itu akan membuat perasaanmu menjadi sedikit lega, telusuri akar permasalahannya, perbaiki jika masih bisa, selesaikan dan setelahnya kembalilah seperti sediakala.


Oke, orang dewasa paham bahwa praktik akan selalu berkali-kali lipat lebih sulit dibanding teori, apalagi berkenaan dengan kehidupan. Entah berapa deret kalimat bijak yang pernah kubaca sambil mengangguk-angguk dan berkata dalam hati “aku akan mempraktikkannya lusa”. Dan kalian tahu, sering saat lusa tiba aku bahkan tidak ingat apa yang telah kubaca kemarin. Untukku, sedikit pengalaman yang dicampur teori yang kutulis diatas semoga tak bernasib sama dengan deretan kalimat bijak yag kubaca kemarin itu.


Senin, 28 Agustus 2017

Titik Balik

Hijrah itu mudah, yang sulit adalah mempertahankannya.

Aku mengalami itu, betapa Allah dulu mempermudah hatiku untuk terketuk melalui perantara seorang teman yang hari ini bilang ia telah hijrah, besoknya aku mantap berkerudung panjang, lalu lusanya mengenakan rok hingga sekarang. Awal hijrah sendirian, berjibaku dengan lingkungan yang masih awam, menutup  mata kala orang menatap penuh curiga, menutup telinga kala cibiran terlontar dengan mudahnya, menyabarkan hati kala candaan mereka menyakiti. Masa berat itu terlewat dengan mulus meski tak bisa dibilang mudah, menjawab pertanyaan sana-sini yang kau tahu, tak semua orang sungguh ingin mengerti dirimu ketika meminta penjelasan atas perbuatanmu, banyak dari mereka yang hanya sekedar ingin tahu.

Harus dari mana aku menuliskannya, aku bingung.

Aku memasuki lingkungan baru 2 tahun setelah hijrah, hijrahku mungkin belum mengakar dalam ketanah, awal pindah aku berusaha menyesuaikan meski rasanya sangat sulit. Aku merasa berbeda dengan mereka, karenanya aku selalu berusaha menjaga jarak. Sampai suatu ketika salah satu dari mereka membuatku ingin bergabung, mengenal mereka lebih dekat sampai pada akhirnya terjalin persahabatan yang erat.

Aku merasa mereka memberi pengaruh positif dalam hidupku, membuatku  keluar dari tempurung kecil duniaku, membuatku  ingin mengenal lebih banyak lagi orang, mereka sungguh teman dunia yang amat menyenangkan. Sampai pada suatu titik aku menyadari bahwa, semakin hari aku semakin futur, semakin jarang pergi kekajian bahkan belakangan hati sama sekali tak tergerak untuk pergi.

Bukan lingkungan baruku yang salah, akarku yang belum menghujam dalam hingga ketika angin lewat hampir-hampir akar itu tercerabut keseluruhan. Sampai pada titik dimana aku merasa seperti bonsai, hidup menua setiap detiknya, jangankan berbuah, karena tumbuhpun aku tidak. Ini menyedihkan, cita-cita untuk menjadi manusia yang bermanfaat serasa hanya bualan yang kubuat dengan penuh kemunafikan. Aku tidak boleh terus seperti ini bukan, titik balik dalam hidupku, hijrah part 2 ku, kurasa ini adalah waktunya.Tak akan aku lari menjauh, aku justru ingin merangkul mereka, karena tak hanya didunia, akupun ingin bertemu mereka kelak di surga


Aku bersyukur karena belum terlambat, aku tersadar sebelum akarku sungguh tak lagi mengait ditanah, aku yang berpenampilan telah hijrah, seharusnya menjadi pelita untuk mereka supaya  mengikuti langkah yang sama, namun aku justru tanpa sadar hampir-hampir kembali ketitik awal. Kini setelah tersadar aku sungguh paham bahwa, tak bisa kau hanya menyemai benih, perlu kau siram, beri pupuk serta kau jaga dari hama supaya benih yang kau semai dapat berubah menjadi pohon yang syukur-syukur dapat berbuah. Point penting yang kupelajari lagi bahwa, kau selalu membutuhkan seseorang yang akan terus menguatkan imanmu, mengingatkan kefuturanmu, serta tak sekedar ingin tahu, namun berusaha mengerti keadaanmu. Dan lagi, sungguh lingkungan pergaulanmu sangatlah berpengaruh terhadap sikap dan perilakumu, berpegang teguhlah, jika kau berada ditempat yang gelap sekarang, curigalah bahwa Allah mengirimmu sebagai pelita disana.


Minggu, 27 Agustus 2017

Si Pungguk yang Bodoh



Di suatu negeri nan jauh, hiduplah si Pungguk berteman angan yang sungguh mustahil untuk di gapai. Setiap malam yang ia lakukan adalah memandang Bulan, menyapanya penuh rindu ketika Bulan mulai menyabit lalu bercerita panjang lebar ketika purnama tiba. Ya ..  Pungguk mendamba Bulan, sungguh angan yang mustahil. Punggukpun menyadarinya, karenanya tak sekalipun ia berharap dapat meraihnya.

Hari-hari yang ia lalui terasa datar dan membosankan, rutinitas menyapa Bulan tak sekalipun ia lewatkan hingga suatu ketika takdir mempertemukannya dengan bayangan. Bayangan mengenalkan Pungguk pada dunia yang entah itu fana atau justru itu adalah senyata-nyatanya dunia, sudut pandang Pungguk mulai berubah, ia menyadari dunia tak semembosankan persepsinya selama ini. Hari hari Pungguk berlalu penuh dengan warna setelah Bayangan berteman dengannya.

Apakah Pungguk melupakan Bulan dambaannya? Iya, Pungguk lupa pada perasaan mendamba itu. Tapi bukankah itu bagus, untuk apa mendamba sesuatu yang mustahil untuk didapat? Tapi Pungguk tak sepenuhnya melupakan Bulan, lihatlah .. kala purnama Pungguk tetap bercerita panjang lebar kepada Bulan, bercerita tentang betapa ia sekarang bahagia karena dunianya menjadi penuh warna.

Bulan yang menggantung di langit, yang cahayanya dapat mengubah hitam pekatnya langit menjadi  benderang, Bulan yang berjarak sangat jauh dari bumi tempat Pungguk tinggal, tentu tak sekalipun terbersit di hati Pungguk bahwa Bulan akan menyadari keberadaannya.

Pungguk tak tahu bahwa keajaiban itu nyata adanya, dan lihatlah .. ternyata selama ini tak sekalipun Bulan berhenti memperhatikan pungguk, tak pernah sekalipun Bulan tak mendengarkan setiap cerita Pungguk kala purnama, Bulan bahkan mengingat setiap detail kecil mengenai Pungguk, Bulan jatuh hati pada Pungguk. Ajaib bukan, sungguh keajaiban yang lebih ajaib dibanding ajaibnya keajaiban.

Tak tahu pungguk bahwa Bulan mengumpulkan keberanian selama bertahun-tahun untuk mengungkapkan perasaannya kepada Pungguk, untuk mengajaknya bersama tinggal dilangit, untuk bersamanya tinggal diantara gemintang, untuk bersamanya menerangi malam.

Hingga hari itu tiba, hari dimana Pungguk dan Bayangan bersama menjelajah dunia. Bulan menghampiri Pungguk, bertanya dengan penuh penghargaan kepada pungguk, “ maukah kau, hai Pungguk, pergi bersamaku kelangit, tinggal diantara gemintang, serta bersama kita terangi langit malam?”

Kalian tahu apa jawaban Pungguk? bukan ya, tapi justru tidak.

Pungguk sungguh mendamba Bulan, sungguh keajaiban diatas keajaiban bagi Pungguk meski hanya sekedar dapat bertegur sapa dengan Bulan. Kejadian semenakjubkan ini sungguh tak pernah terbayang sebelumnya, meski didalam mimpipun tidak.

Tapi pungguk tak dapat berkata ya setelah Bayangan hadir, Bayangan yang meski Pungguk tahu tak akan selamanya bersamanya, dengan bodohnya Pungguk tetap menginginkan kebersamaan sesaatnya dengan Bayangan.

Bulan tertolak oleh si Pungguk yang bodoh, Bulan memutuskan pergi tak lama setelah tertolak, toh siapa yang tak menginginkan Bulan? Pungguk bahkan tak sepadan dengan Bulan, Bulan bersua dengan Kejora dilangit sana, Kejora adalah salah satu gemintang yang paling terang sinarnya, bersama-sama setiap malam mereka menerangi gelapnya langit. Ah, betapa serasinnya mereka.

Bagaimana dengan Bayangan? Bayangan kembali kepada pemilik sejatinya, mereka akhirnya menyatu menjadi kesatuan yang utuh.

Lalu pungguk?
Pungguk yang bodoh kembali pada kehidupan awal, sendirian.


Selesai

Senin, 10 Juli 2017

Y O U A R E W H A T Y O U R E A D

Bumi Bulan Matahari Bintang, dan ...

“aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal. Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil, sesuatu yang menakjubkan. Namaku Raib, dan aku bisa menghilang”

Ini adalah cuplikan monolog perkenalan Raib, salah satu tokoh utama dalam buku pertama dari serial “BUMI” nya Tere Liye. Novel seri yang bergenre science fiction sekaligus fantasi ini mengisahkan tentang kehidupan di dunia yang diceritakan tidak sesederhana apa yang kita pikirkan. Pernah dengar tentang dunia paralel? Dunia yang kita tinggali ini terdiri dari empat klan yakni klan Bumi, klan Bulan, klan Matahari, serta klan Bintang. Semua kehidupan di keempat klan berjalan serempak tanpa saling bersinggungan. Macam komputer yang membuka empat atau lebih program. Kita tetap bisa menjalankannya bersamaan, membuka internet, mengetik di Ms. Word, menyetel musik, serta mengedit foto sekaligus. Serial Bumi ini meceritakan petualangan seru Raib, Seli dan Ali pergi ke keempat klan tersebut. Baca sendiri dan kalian akan ikut larut dalam petualangan menegangkan, seru, menakjubkan, serta penuh dengan pesan moral yang layak untuk dijadikan pelajaran hidup.

Aku mengoleksi serial ini sejak tahun 2014, itu adalah tahun dimana  Bumi yang merupakan buku pertama dari serial “Bumi” itu terbit, Bulan, Matahari serta Bintang terbit tiga tahun berturut-turut setelahnya.  Dan kejutannya adalah setelah Bintang habis terbaca akan ada buku selanjutnya yang belum dipastikan kapan waktu terbitnya.

Tere Liye adalah salah satu penulis favoritku. Kenapa? Karena melalui tulisan-tulisannya ia mengajarkanku sebagai pembacanya untuk percaya bahwa hal baik akan selalu menyertai kita yang berbuat baik, seperti didalam dongeng-dongeng. Cinderella misalnya, karena keberanian, kebaikan, serta kesabarannyalah pada akhirnya ia hidup bahagia dengan pangeran. Aku tipe yang seperti itu, tipe yang percaya happy ending dalam sebuah kehidupan itu ada selama kita selalu berusaha berbuat baik, tak peduli banyak orang yang sudah mulai skeptis memandang kebaikan, ada yang berkelakar bahwa hidup tak seindah tulisan Tere Liye, mereka bilang bahwa hidup itu keras. Berbuat curang, membalas dendam, membenci, mereka menganggap hal itu alamiah, bahwa wajar jika manusia normal melakukan hal seperti itu. Orang-orang yang berpandangan seperti itu kurasa adalah orag yang kurang banyak membaca buku. 

Tak hanya buku Tere Liye yang ku rekomendasikan, ada banyak buku lain yang dapat mengajari kita tentang kebijaksanaan dalam hidup, tentang pentingnya berbuat baik dalam hidup. Nomer satu yang paling aku rekomendasikan bagi yang muslim tentu adalah Al Qur’an, saya termasuk yang masih jarang membaca terjemahannya (jangan tanya tafsir, saya amat sangat awam dan itu menyedihkan), tapi setahu saya sebagian besar isi Al Qur’an adalah kisah-kisah, dalam surrah Al Kahfi misalnya, ini adalah surrah yang berisi tiga kisah sekaligus, pertama tentang para penghuni gua yang dikisahkan seperti memasuki lorong waktu, kemudian kisah nabi Musa yang ingin berguru kepada Nabi Khidir, serta kisah yang paling membuatku penasaran, kisah kaum Ya’juj dan Ma’juj yang dikurung disebuah tembok oleh nabi Dzulkarnain.



Cerita sedikit

 Kapan aku mulai gemar membaca?

Ketika SD, tak ada perpustakaan, buku pertama itu berada didalam sebuah lemari kaca ruang guru, sampul hijau dengan gambar seekor ikan, judulnya “Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi” buku yang mengajariku untuk tidak membantah nasihat orangtua, untuk mencintai saudara kita, serta tidak mementingkan diri sendiri. Dari satu buku itu aku jadi sangat gemar membaca, dan tak terhitung lagi berapa buku yang pernah kubaca.

Membaca membuatku berimajinasi, seringnya menjadi pemeran utama dalam buku yang kubaca, rasanya menyenangkan, bayangkan, seolah kau memiliki film yang hanya kau sendiri yang dapat melihatnya, karena film itu hanya berputar dikepalamu saja. Hal ini tak hanya berlaku ketika aku membaca serial fiksi. Semenjak kelas 3 SD aku sudah tertarik dengan pelajaran sejarah, aku ingat pada pelajaran sejarah kelas 3 SD banyak dibahas mengenai perjanjian-perjanjian antara Indonesia dan para penjajah yang berusaha menguasai Indonesia kembali pasca deklarasi kemerdekaan, aku juga berimajinasi mengenai berbagai perjanjian tersebut, Konferensi Meja Bundar yang menggunakan  meja bundar dikelilingi banyak orang, perjanjian Renville yang diadakan di geladak kapal perang, perjanjian Linggar jati dan lain-lain. Berlanjut hingga SMA pun aku lebih banyak lagi membaca buku yang berbau sejarah, politik, biografi tokoh-tokoh penting, hingga buku apa saja yang sekiranya membuatku tertarik.

Sungguh membaca memberikan banyak pemahaman yang baik, banyak kebijaksanaan hidup yang kau petik dari sebuah buku. Pernah dengar ungkapan “you are what you eat”? bahwa apa yang kamu makan itu menentukan kesehatanmu, sama halnya dengan buku, “you are what you read” bahwa apa yang kamu bacapun akan mempengaruhi bagaimana sikapmu.

Ngomong-ngomong

Soal membaca buku, ada fakta mencengangkan tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, yaitu :
1.   Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
2.   Riset berbeda bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Menurut saya hal paling mendasar yang menyebabkan minimnya minat baca masyarakat Indonesia adalah tidak adanya budaya membaca yang digalakkan sejak dini terutama dilingkungan keluarga, belakangan orangtua justru lebih banyak memberikan anak tontonan dari televisi. Kurangnya buku bacaan yang berkualitas terutama di daerah-daerah yang masih terpencil, serta pengaruh besar smartphone yang telah menggantikan banyak sisi kehidupan manusia juga berperan sangat sentral dalam hal ini.

Pentingnya membaca buku saya rasa perlu untuk disosialisasikan kepada masyarakat, buku berbeda dengan artikel yang dibaca diinternet, untuk membuat sebuah buku (yang bukan fiksi) dibutuhkan sangat banyak sekali buku lain sebagai acuan, serta penelitian bertahun-tahun. Berbeda dengan artikel yang kita baca diinternet, ada banyak yang memang berbobot, namun ada banyak pula yang penulisannya dilakukan tanpa dasar dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga bisa saja justru menyesatkan.


Ayo budayakan membaca buku, karena kata bang Tere Liye membaca jika tidak bermanfaat sekarang, suatu saat pasti akan bermanfaat, dan hal itu pernah saya rasakan.



Senin, 13 Februari 2017

M A S A - M A S A

            Akan selalu ada kisah menarik serta kenangan yang takkan terlupa dalam tiap fase kehidupan manusia. Aku juga merasakannya.



S E K O L A H  D A S A R



Masa-masa yang tanpa beban, dimana setiap hari yang kulakukan hanya 'sekolah, main, ngaji'. Setiap hari seperti itu dan hanya itu. Ketidakhadiran ibu bapak seolah tak berarti apapun, nenek saja rasanya cukup kala itu. Kesukaaanku membaca tumbuh dari masa ini, ada satu buku yang masih kuingat hingga kini, buku yang kupinjam dari sebuah lemari kaca diruang guru, sampul hijau dengan gambar seekor ikan dengan judul “Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi”. Dimasa ini pula pertama kalinya aku memiliki seekor kucing, namanya belang, karena terlalu sering dipanggil cayang, akhirnya namanya ku ganti cayang. Kucing jantan yang gemuk dan lucu. Ketika akhirnya keluargaku memutuskan untuk pindah ke Jakarta, saat itu pula kebersamaanku dengannya berakhir.





S E K O L A H  M E N E N G A H  P E R T A M A



            Masa-masa SMP adalah masa dimana aku yang baru pindah dari kampung mulai sedikit mengenal pinggiran Jakarta, dari SMP aku mengenal banyak orang, teman, bahkan sahabat yang sampai sekarang masih saling sapa, main bersama, serta bertukar pikiran tentang hidup bersama pula.



S E K O L A H  M E N E N G A H  A T A S



            Masa-masa SMA, masa penuh cita-cita dan harapan tentang masa depan, membuat berbagai rencana untuk menyambut masa dewasa. Bolak-balik perpustakaan sekolah untuk meminjam banyak buku yang kebanyakan justru novel, kumpulan puisi atau prosa dan biografi tokoh-tokoh, rasa-rasanya aku sangat jarang meminjam buku yang ada hubungannya dengan pelajaran. Pernah sekali menghilangkan, dan ketika hendak mengganti uang ternyata ada adik kelas yang menemukan. Masa dimana hampir setiap pelajaran fisika aku dipanggil kedepan untuk mengerjakan dan seingatku tak pernah satu kalipun aku sukses menjawabnya.



K E R J A


            Masa-masa Kerja, masa dimana aku belajar tentang susahnya mencari uang, menangis karena diomeli atasan, merasakan bahagianya ketika pertama kali memegang uang hasil keringatku sendiri, masa dimana aku menyadari bahwa dunia orang dewasa tak ubahnya seperti dunia anak-anak. Bertengkar, saling membicarakan satu sama lain, aah. Bahkan dunia anak-anak jauh lebih baik dengan kejujuran dan kepolosannya dibanding dunia orang dewasa yang penuh dengan kepura-puraan. Meski begitu tempat ini pula yang membuatku sedikit demi sedikit menjadi dewasa, dengan memahami bahwa setiap orang berbeda, setiap orang memiliki kepribadian yang unik, memahami bahwa idealismeku tidak bisa terus menerus aku pertahankan, realitas yang ada sulit untuk dilawan, jadi terkadang aku harus mengalah. Disini pula aku belajar untuk saling menguatkan satu sama lain, belajar bahwa keluarga bisa terbentuk meski tanpa adanya hubungan darah sekalipun, kebersamaan yang setiap hari ada sudah lebih dari cukup untuk menjadikan kita sebuah keluarga.



K U L I A H



            Masa-masa Kuliah, ini masa yang sedang kunikmati sekarang. Masa dimana aku bertemu dengan mereka, teman-teman sekelasku yang sangat menyenangkan. Mereka mengenalkanku pada banyak hal, terutama tentang arti persahabatan, tentang bagaimana caranya menikmati kuliah sehingga yang menjadi fokusku tidak hanya pada nilai saja. Mereka adalah orang-orang gila yang jika sudah melakukan pertunjukkan gilanya maka aku akan kesulitan untuk berhenti tertawa. Mereka sangat setia kawan, jika ada satu yang mengalami kesulitan maka tangan yang lain akan dengan ringan terulur. Meski mereka gila, tapi ada kalanya diskusi dengan mereka juga terasa menyenangkan, selalu diselingi canda namun tetap ada pelajaran yang membekas, contoh ketika diskusi psikologi sosial, aku sungguh ingin mengulanginya, atau ketika diskusi di sayap kanan lobby kampus, itu pertama kalinya aku mulai mendekat dan akhirnya sekarang bergabung dengan mereka.



            Aku yang jarang pergi kemana-kemana, dengan menggebu mengajak mereka ke monas. Ya, monas. Monas yang sangat ikonik itu saja belum pernah aku datangi. Dengan sangat baik hati mereka menemaniku kesana, bersepuluh kita naik kereta, mereka bilang bahwa hari itu adalah “Anifah Day”. Aku tak pernah tidak tersenyum ketika kembali membuka album foto yang kuberi nama “Trip to Monas”. Makan es cream di stasiun, naik mobil tingkat gratis, sholat di Istiqlal, antri naik ke atas monas, pulang terlalu malam sampai parkiran motor tutup, balik lagi ke stasiun ditengah perjalanan pulang karena ada teman yang terlupa (maaf yas, ren), dan akhirnya makan nasi uduk sebelum benar-benar pulang.



            Yang baru-baru ini kami lakukan bersama adalah mengadakan acara gathering kelas, touring menggunakan motor ke Bogor, acara yang sangat menyenangkan. Itu sungguh pertama kalinya aku pergi jauh menggunakan motor, hujan dalam perjalanan berangkat sama sekali tidak membuat ingin pulang. Kalian tahu? Ternyata mereka, pria-pria dikelasku jago memasak, dari acara ini aku mulai menyadari bahwa mereka adalah pria-pria baik meski ketika bercanda kadang membuat dahiku berkerut, atau mungkin aku saja yang terlalu kaku? Entahlah. Yang pasti mereka tipe yang bertanggung jawab dan tidak akan tega membuat anak perempuan kesusahaan. Satu yang selalu aku semogakan, semoga mereka bukan pecinta sesama jenis.
Perjalanan pulang juga tak kalah menyenangkan, meski rasanya aku sangat ngantuk, penyebabnya? Kurasa angin. Kalian tahu apa obat ngantuk paling mujarab selain makan? Menyanyi, aku menyanyikan semua sountrack lagu kartun sewaktu aku masih anak-anak sepanjang perjalanan pulang, tak absen lagu lain pula, tapi yang paling enak untuk dinyanyikan menurutku cuma satu, sountrack kartun chibi marukochan. “hal yang menyenangkan hati banyak sekali bahkan kalau kita bermimpi, sekarang ganti baju gar menarik hati ayo kita mencari temaaaaan ...”




            Selain jalan-jalan yang pada dasarnya hanya untuk bersenang-senang anak-anak kelasku juga secara rutin mengadakan acara bakti sosial tiap semesternya, acara pertama aku hanya ikut melakukan penggalangan dana, acara kedua aku benar-benar terjun langsung, dan kalian tahu bagaimana rasanya? Sangat-sangat menyenangkan, mulai dari rapat dengan ketua yang galak tapi tegas, mempersiapkan barang-barang yang akan kita sumbangkan, hingga dihari H kita bertemu serta berbagi dengan anak-anak yang membutuhkan itu. Melakukan acara bakti sosial ini rasanya seperti  melakukan pengabdian masyarakat yang nyata, the real mahasiswa menurutku ya yang begini, yang melakukan tindakan nyata untuk lingkungan sekitar, bukan hanya fokus untuk mengejar nilai yang pada akhirnya tidak akan memberikan pelajaran tentang hidup yang nyata padamu.




            Yang sayang untuk tidak diceritakan adalah acara ketika kita ke pasar malam setelah acara bakti sosial. Lagi-lagi itu pertama kalinya aku ke pasar malam, naik kora-koraan sama Rere, naik itu entah aku harus menyebutnya apa, sepedakah? Tapi rodanya banyak, odong-odongkah? Pokoknya itu deh yang ada di foto. Melambaikan tangan pada orang-orang yang tidak dikenal, aku benar-benar kehilangan rasa malu waktu itu, tapi aku tidak malu. Teriak-teriakan karena yang mengayuh entah kenapa kurang profesional, atau jangan-jangan benar kata abang-abang yang menyewakan benda itu bahwa akunya saja yang terlalu gendut? Tidak mungkin, itu pasti karena pengayuh sepedanya yang sedikit payah. Sampai dirumah aku baru makan, laparku karena belum makan seketika hilang berganti canda dan tawa bersama mereka.

            Masa-masa menyenangkan ini pasti akan berlalu dan berganti dengan masa-masa yang lain dimasa depan, namun kenangan tentangnya sungguh akan menetap dihati. Banyaknya foto kebersamaan kita yang tersimpan rapi kurasa cukup menjadi pengingat akan hari-hari yang sudah kita lewati bersama. Bukankah hanya ada satu tempat dimana waktu berhenti dan kenanganpun akan kembali berputar? Pada sebuah foto.

            
Aku sungguh bersyukur kepada Allah karena dipertemukan dengan kalian, terimakasih sudah menjadi teman-teman Anifah.

Selasa, 24 Januari 2017

Cerpen Pertama

Ini tentang hujan yang membawa sembilu rindu, cerpen melepaskan tanpa pernah memiliki. Terimakasihku untuk Allah, telah menurunkan hujan yang menginspirasiku belajar menulis.
Selamat menikmati cerpen galau tapi lucu pertama yang kuterbitkan disini

            Disudut kamar, dari jendela kaca persegi dengan cat merah disetiap sisinya, hanya dengan temaram cahaya dari luar jendela itulah Lail termenung memandang hujan yang mulai turun. Terlihat olehnya sepasang merpati yang bertengger diatap sebuah spanduk bergegas terbang menerabas rintik yang mulai menderas, “semoga sarang mereka tidak jauh” batinnya.
            Ada begitu banyak orang yang menyukai hujan, begitupun Lail. Ia bergegas mengambil buku hariannya beserta pulpen dilaci. Dan Lail pun mulai menulis


24 Maret
     Hujan mengingatkanku padamu, meski tak ada satupun kenangan dirimu yang berkaitan dengan hujan namun tetesnya yang jatuh seakan bagai denting suaramu yang aku rindu.
     Aku selalu sadar bahwa kecantikan fisik bukanlah segalanya, bahwa yang terpenting adalah cantiknya hati, tapi tetap saja bersama dengan mereka yang cantik secara fisik membuatku tak percaya diri untuk berdekatan denganmu. Aku takut, takut perhatianmu yang biasa akan hilang berganti sibukmu untuk mendekati mereka. Jika nyata seperti itu kau tak patut ada di hatiku, itu adalah filter. Namun tetap saja aku merasa tidak siap, aku takut sakit hati, sama seperti takut pahitnya pare karenanya seumur hidup aku tak pernah sekalipun mencoba memakannya. Tapi kau bukan makanan yang bisa aku abaikan karena masih banyak makanan lain yang rasanya lebih enak, kau hanya satu, tak terganti.
     Jatuh cintaku sungguh menyiksa, aku tak bisa berhenti berusaha menunjukkannya padamu meski aku takut setengah mati kau akan tahu. Aku terus saja memimpikanmu, memimpikan saat-saat bersamamu. Ini sungguh menyiksa, aku ingin perasaan ini enyah saja. Kukira dengan tak melihatmu sama sekali akan membuat perasaanku membaik, ternyata aku salah. Perasaanku justru memburuk, jadi makin tak menentu, intensitas memimpikanmu meningkat, dan lamunan berikut senyum ketika mengingat perlakuan manismu semakin menjadi-jadi.
     Aku harus bagaimana? Aku sungguh benci karena mencintaimu, kau seharusnya tak pantas. Tapi bagaimana? Kau dipilih oleh hatiku, bukan aku yang memilihmu, bahkan setelah aku tahu kau menyukai atau bahkan mencintai wanita lain sekalipun
     Aku .. sungguh jatuh cinta sendirian bukan?! Tanpa kau merasakan hal yang sama, tanpa kau tahu.
     Aku sungguh tak paham, mengapa rasanya seperti ini, terkadang tersenyum mengingatmu bersamaan dengan tangis karena menyadari aku tersenyum sendiri, aku bahagia sendiri mengingatnya tanpa kamu merasakan hal yang sama.
     Aku ingin melupakanmu saja, tak ingin sakit sendirian karena jatuh cinta sendirian. Tapi semakin berusaha melupakan aku justru akan semakin mengingatmu. Karenanya aku akan memeluknya erat, menerimanya dengan lapang dada, meski saat ini, besok, besok, besok dan besoknya lagi masih akan tetap sakit tapi aku percaya suatu saat perasaanku akan membaik dan jadi tidak apa-apa. Peluk eratku atas perasaan ini adalah bentuk melepasku tanpa pernah memilikimu.


            Itu adalah kalimat perpisahan Lail pada cinta sepihaknya, ia memutuskan untuk menyerah, menerima bahwa ia jatuh cinta sendirian lalu setelahnya ia merencanakan untuk bangkit sendirian pula. Tapi jika kalian membaca langsung diary Lail maka kalian akan tertawa, karena tertulis banyak kalimat perpisahan disana

Tanggal 8 Januari
Melupakanmu
Tanggal 2 februari
Aku akan mengakhirinya sendiri
Tanggal 12 februari
Ini akan jadi terakhir kalinya
Tanggal 23 maret
Aku akan melupakanmu saja
           
            Jadi jangan anggap serius kalimat perpisahan panjang lebar dan mengharukan Lail tadi, karena bisa jadi besok ia akan menuliskan hal yang serupa, tak persis sama namun dengan maksud perpisahan, lagi.





Minggu, 22 Januari 2017

Tentang Menjalani Hidup

Andai bisa memilih hidup yang ingin dijalani, maka aku ingin jalan hidupku tetap seperti ini. Tak satupun yang ingin kubuang, entah itu pengalaman tersakit sekalipun. Karena untuk sampai disini jalan yang kutempuh begitu berliku, ratusan kenangan yang masih tersimpan rapi serta tak terhitung lagi banyaknya kenangan yang mungkin sudah kulupakan. Maka bayangkan betapa tidak kerennya aku jika aku bukan aku yang punya ratusan bahkan tak terhitung kenangan yang dilupakan itu.

Jika ada orang-orang yang benci dengan takdir hidupnya saat ini, sekuat tenaga hendak lari, serta sekeras mungkin berusaha melupakan masa lalu maka aku sebaliknya. Aku mencintai takdir hidupku, Sekuat tenaga aku berusaha menghadapi segala yang terjadi, entah itu hal manis yang membuatku tersenyum simpul atau bahkan hal menyakitkan yang membuat dadaku sesak. Aku juga tidak berusaha untuk melupakan kenangan pahit, karena penulis favoritku mengatakan ‘semakin kau berusaha melupakan, maka kenangan itu justru akan semakin kau ingat’ yang benar menurutku adalah menerimanya. Menerima dengan lapang dada segala kenangan yang menusuk, hingga suatu hari aku tak lagi merasa sakit ketika mengingatnya.

Jika ada yang mengatakan aku kekanak-kanakan maka jawabanku adalah apa salahnya berpikiran seperti anak-anak? Anak-anak selalu bersikap apa adanya, ketidaksukaan mereka katakan dengan gamblang, bukannya justru berpura-pura baik didepan orang yang mereka tidak suka, jika marah mereka akan melampiaskan, bukan memendamnya lalu menjadikannya dendam, jikapun berkelahi besok lusa mereka akan kembali baikan, bukan justru menjadi konflik yang berkepanjangan.

Orang dewasa selalu mengedepankan kerealistikkan, sesuatu yang masuk akal bagi mereka adalah bahwa dunia nyata tak seindah negeri dongeng. Tapi aku selalu ingin memandang dunia ini layaknya anak-anak, bahwa akan ada pahlawan seperti ranger pink yang datang menyelamatkan bumi ketika situasi menjadi kacau, bahwa akan ada cinta sejati yang menghampiri meski kau adalah seorang gadis miskin sekalipun. Aku selalu ingin memandang dunia sebagaimana yang bisa diwujudkan. Percaya bahwa hal-hal baik entah dari mana jalannya akan terjadi selama kita melakukan kebaikan, serta selalulah miliki keberanian.



Pernah nonton Cinderella? Pesan terakhir ibu Cinderella : "have courage and be kind, it has a power more than you know"