Selasa, 24 Januari 2017

Cerpen Pertama

Ini tentang hujan yang membawa sembilu rindu, cerpen melepaskan tanpa pernah memiliki. Terimakasihku untuk Allah, telah menurunkan hujan yang menginspirasiku belajar menulis.
Selamat menikmati cerpen galau tapi lucu pertama yang kuterbitkan disini

            Disudut kamar, dari jendela kaca persegi dengan cat merah disetiap sisinya, hanya dengan temaram cahaya dari luar jendela itulah Lail termenung memandang hujan yang mulai turun. Terlihat olehnya sepasang merpati yang bertengger diatap sebuah spanduk bergegas terbang menerabas rintik yang mulai menderas, “semoga sarang mereka tidak jauh” batinnya.
            Ada begitu banyak orang yang menyukai hujan, begitupun Lail. Ia bergegas mengambil buku hariannya beserta pulpen dilaci. Dan Lail pun mulai menulis


24 Maret
     Hujan mengingatkanku padamu, meski tak ada satupun kenangan dirimu yang berkaitan dengan hujan namun tetesnya yang jatuh seakan bagai denting suaramu yang aku rindu.
     Aku selalu sadar bahwa kecantikan fisik bukanlah segalanya, bahwa yang terpenting adalah cantiknya hati, tapi tetap saja bersama dengan mereka yang cantik secara fisik membuatku tak percaya diri untuk berdekatan denganmu. Aku takut, takut perhatianmu yang biasa akan hilang berganti sibukmu untuk mendekati mereka. Jika nyata seperti itu kau tak patut ada di hatiku, itu adalah filter. Namun tetap saja aku merasa tidak siap, aku takut sakit hati, sama seperti takut pahitnya pare karenanya seumur hidup aku tak pernah sekalipun mencoba memakannya. Tapi kau bukan makanan yang bisa aku abaikan karena masih banyak makanan lain yang rasanya lebih enak, kau hanya satu, tak terganti.
     Jatuh cintaku sungguh menyiksa, aku tak bisa berhenti berusaha menunjukkannya padamu meski aku takut setengah mati kau akan tahu. Aku terus saja memimpikanmu, memimpikan saat-saat bersamamu. Ini sungguh menyiksa, aku ingin perasaan ini enyah saja. Kukira dengan tak melihatmu sama sekali akan membuat perasaanku membaik, ternyata aku salah. Perasaanku justru memburuk, jadi makin tak menentu, intensitas memimpikanmu meningkat, dan lamunan berikut senyum ketika mengingat perlakuan manismu semakin menjadi-jadi.
     Aku harus bagaimana? Aku sungguh benci karena mencintaimu, kau seharusnya tak pantas. Tapi bagaimana? Kau dipilih oleh hatiku, bukan aku yang memilihmu, bahkan setelah aku tahu kau menyukai atau bahkan mencintai wanita lain sekalipun
     Aku .. sungguh jatuh cinta sendirian bukan?! Tanpa kau merasakan hal yang sama, tanpa kau tahu.
     Aku sungguh tak paham, mengapa rasanya seperti ini, terkadang tersenyum mengingatmu bersamaan dengan tangis karena menyadari aku tersenyum sendiri, aku bahagia sendiri mengingatnya tanpa kamu merasakan hal yang sama.
     Aku ingin melupakanmu saja, tak ingin sakit sendirian karena jatuh cinta sendirian. Tapi semakin berusaha melupakan aku justru akan semakin mengingatmu. Karenanya aku akan memeluknya erat, menerimanya dengan lapang dada, meski saat ini, besok, besok, besok dan besoknya lagi masih akan tetap sakit tapi aku percaya suatu saat perasaanku akan membaik dan jadi tidak apa-apa. Peluk eratku atas perasaan ini adalah bentuk melepasku tanpa pernah memilikimu.


            Itu adalah kalimat perpisahan Lail pada cinta sepihaknya, ia memutuskan untuk menyerah, menerima bahwa ia jatuh cinta sendirian lalu setelahnya ia merencanakan untuk bangkit sendirian pula. Tapi jika kalian membaca langsung diary Lail maka kalian akan tertawa, karena tertulis banyak kalimat perpisahan disana

Tanggal 8 Januari
Melupakanmu
Tanggal 2 februari
Aku akan mengakhirinya sendiri
Tanggal 12 februari
Ini akan jadi terakhir kalinya
Tanggal 23 maret
Aku akan melupakanmu saja
           
            Jadi jangan anggap serius kalimat perpisahan panjang lebar dan mengharukan Lail tadi, karena bisa jadi besok ia akan menuliskan hal yang serupa, tak persis sama namun dengan maksud perpisahan, lagi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar