Sebagian besar orang,
jika mengalami suatu kejadian khusus maka mereka akan sangat ekspresif
menunjukkan keadaan emosi yang sedang mereka rasakan, sedih menangis, senang
tertawa, marah membentak, galau termenung. Namun ada pula tipe orang yang tidak
seekspresif itu berkaitan dengan emosi yang sedang ia rasakan.
Kemarin malam aku
membaca beberapa artikel psikologi diinternet, ada sebuah kalimat yang
membuatku sangat tertarik karena membuatku berpikir ulang mengenai kebiasaanku.
Aku memiliki kebiasaan untuk berkata “tidak apa-apa” kediri sendiri ketika
mengalami hal yang tidak menyenangkan. Termasuk ketika mengalami kondisi
menyedihkan sekalipun, dengan sok ‘bukan manusia biasa’ aku akan berkata “sudah,
jangan sedih” atau kalimat semacamnya, yang intinya secara tidak langsung melarang diri
sendiri ‘merasakan sedih’. Lalu eng ing
eng, tiba-tiba aku membaca sebuah kalimat yang berbunyi “it’s ok not to be ok” dengan
imbuhan kalimat “Rememember to be kind to
yourself too”.
Dengan melarang diri sendiri merasa sedih
apakah artinya aku sudah berbuat baik pada diriku sendiri? Selama ini aku
menolak ‘not to be ok’ dan selalu memaksa diri sendiri untuk ‘it’s ok’. Padahal ‘it’s ok not to be ok’ kok. Mmmm ??? Jadi mari kita bongkar
Dimulai dari definisi
emosi itu sendiri, emosi dalam bahasa latin memiliki arti “move out” (bergerak keluar). Emosi (emotion) merupakan gabungan kata e untuk energi dan motion untuk
pergerakan, sehingga emosi menggerakkan kita untuk bertindak agar dapat
bertahan dari ancaman, mendapat kedekatan sosial, dan prokreasi (Gentry, 2007).
Ya, jadi emosilah yang
menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ataupun menghindari suatu
situasi. Maka dapat dikatakan normal ketika seseorang yang sedih karena patah
hati kemudian menangis, atau orang yang takut ketika melihat ular kemudian lari
terbirit-birit.
Jadi jika kamu patah hati dan merasa sedih lalu bilang kediri sendiri “sudah, tidak apa-apa jangan sedih” itu tidaklah dibenarkan. Karena akan menjadi tidak normal ketika alarm yang diberikan adalah emosi sedih namun tingkah laku yang ditunjukkan justru biasa-biasa saja atau malah gembira. Lain cerita jika kita mengidap apa yang disebut Alexithymia yakni gangguan psikologis dimana pengidapnya tidak mampu untuk mengidentifikasi serta mendiskripsikan secara verbal emosi yang dialaminya.
Ada yang pernah nonton
drama korea berjudul Cheese In The Trap? Aku pernah, dan menurutku pemeran
utama laki-laki dalam drama tersebut mengalami Alexithymia, Yoo Jung kecil hanya diperbolehkan menunjukkan
perilaku ramah didepan semua orang, sehingga ketika ia marah ia tidak
menunjukkan kemarahannya. Meski tak menunjukkan kemarahannya ia tetap dendam
dan akan balik membalas dengan cara-cara yang bisa dibilang sadis namun ia
sendiri menganggap hal tersebut wajar, Yoo Jung dewasa bahkan mengakui bahwa ia
tidak merasa perlu mengerti perasaan orang lain, karena orang lainpun tak mau
berusaha mengerti perasaanya. Jadi ketika ia membalas perbuatan jahat orang
lain ia tak pernah berpikir bahwa hal itu akan “semenyakitkan itu” bagi orang
tersebut.
Kegiatan memantrai diri
dengan bilang jangan sedih mengingatkanku pula pada salah satu dari 8 mekanisme
pertahanan diri ala Freud, yakni represi.
Represi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri dengan cara menekan
pengalaman-pengalaman yang tidak diinginkan kealam bawah sadar. Berdasarkan psikoanalisis
Freud kita juga tahu bahwa pengalaman-pengalaman bawah sadar dari masa lalu bisa
saja muncul dimasa yang akan datang dalam bentuk yang bisa jadi tidak kita inginkan,
seperti trauma misalnya, atau perilaku menyimpang lainnya. Jika terus
dilakukan, menekan perasaan sedih kealam bawah sadar dan tidak
mengekspresikannya, bukan tidak mungkin dimasa mendatang kesedihan yang di
repres tersebut akan muncul kembali dan berubah menjadi kelaian psikologis. Dalam
kasus Yoo Jung pun seperti itu, represi emosi yang tidak dapat diekspresikan dari
masa lalu muncul dimasa depan dalam bentuk perilaku antisosial yang
menjadikannya tidak berempati pada perasaan orang lain.
Karenanya kurasa sangat
penting bagi kita untuk dapat mengekspresikan emosi yang kita rasakan sesuai
dengan porsinya dan tidak berlebihan. Kita tidak harus selalu dalam keadaan ‘positif’
setiap saat, pasti akan selalu ada saat dimana kita marah karena suatu hal, hal
tersebut normal, marahlah asal jangan mendendam. Pun akan ada saat dimana kita
sedih, itu juga normal, maka besedih dan menangislah asal jangan berlebihan. Mulailah
menyayangi diri sendiri seutuhnya, bukan hanya pada saat merasakan bahagia saja
kita melakukan pengakuan “aku bahagia”, pada saat sedihpun kita boleh membuat
pengakuan pada diri sendiri “aku sedih”. Jadi ketika suatu saat nanti aku
merasa sedih, aku akan mengakuinya, aku akan bilang pada diriku sendiri, ya aku
merasa sedih, itu normal dan manusiawi, menangislah jika perlu karena itu akan
membuat perasaanmu menjadi sedikit lega, telusuri akar permasalahannya,
perbaiki jika masih bisa, selesaikan dan setelahnya kembalilah seperti
sediakala.
Oke, orang dewasa paham
bahwa praktik akan selalu berkali-kali lipat lebih sulit dibanding teori,
apalagi berkenaan dengan kehidupan. Entah berapa deret kalimat bijak yang
pernah kubaca sambil mengangguk-angguk dan berkata dalam hati “aku akan mempraktikkannya
lusa”. Dan kalian tahu, sering saat lusa tiba aku bahkan tidak ingat apa yang telah
kubaca kemarin. Untukku, sedikit pengalaman yang dicampur teori yang kutulis
diatas semoga tak bernasib sama dengan deretan kalimat bijak yag kubaca kemarin
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar