Rabu, 27 September 2017

It's ok not to be ok

Sebagian besar orang, jika mengalami suatu kejadian khusus maka mereka akan sangat ekspresif menunjukkan keadaan emosi yang sedang mereka rasakan, sedih menangis, senang tertawa, marah membentak, galau termenung. Namun ada pula tipe orang yang tidak seekspresif itu berkaitan dengan emosi yang sedang ia rasakan.

Kemarin malam aku membaca beberapa artikel psikologi diinternet, ada sebuah kalimat yang membuatku sangat tertarik karena membuatku berpikir ulang mengenai kebiasaanku. Aku memiliki kebiasaan untuk berkata “tidak apa-apa” kediri sendiri ketika mengalami hal yang tidak menyenangkan. Termasuk ketika mengalami kondisi menyedihkan sekalipun, dengan sok ‘bukan manusia biasa’ aku akan berkata “sudah, jangan sedih” atau kalimat semacamnya,  yang intinya secara tidak langsung melarang diri sendiri ‘merasakan sedih’.  Lalu eng ing eng, tiba-tiba aku membaca sebuah kalimat yang berbunyi “it’s ok not to be ok”  dengan imbuhan kalimat “Rememember to be kind to yourself too”.

Dengan melarang diri sendiri merasa sedih apakah artinya aku sudah berbuat baik pada diriku sendiri? Selama ini aku menolak ‘not to be ok’ dan selalu memaksa diri sendiri untuk ‘it’s ok’.  Padahal ‘it’s ok not to be ok’ kok. Mmmm ??? Jadi mari kita bongkar

Dimulai dari definisi emosi itu sendiri, emosi dalam bahasa latin memiliki arti “move out” (bergerak keluar). Emosi (emotion) merupakan gabungan kata e untuk energi dan motion untuk pergerakan, sehingga emosi menggerakkan kita untuk bertindak agar dapat bertahan dari ancaman, mendapat kedekatan sosial, dan prokreasi (Gentry, 2007).

Ya, jadi emosilah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ataupun menghindari suatu situasi. Maka dapat dikatakan normal ketika seseorang yang sedih karena patah hati kemudian menangis, atau orang yang takut ketika melihat ular kemudian lari terbirit-birit.

Jadi jika kamu patah hati dan merasa sedih lalu bilang kediri sendiri “sudah, tidak apa-apa jangan sedih” itu tidaklah dibenarkan. Karena akan menjadi tidak normal ketika alarm yang diberikan adalah emosi sedih namun tingkah laku yang ditunjukkan justru biasa-biasa saja atau malah gembira. Lain cerita jika kita mengidap apa yang disebut Alexithymia yakni gangguan psikologis dimana pengidapnya tidak mampu untuk mengidentifikasi serta mendiskripsikan secara verbal emosi yang dialaminya.

Ada yang pernah nonton drama korea berjudul Cheese In The Trap? Aku pernah, dan menurutku pemeran utama laki-laki dalam drama tersebut mengalami Alexithymia, Yoo Jung kecil hanya diperbolehkan menunjukkan perilaku ramah didepan semua orang, sehingga ketika ia marah ia tidak menunjukkan kemarahannya. Meski tak menunjukkan kemarahannya ia tetap dendam dan akan balik membalas dengan cara-cara yang bisa dibilang sadis namun ia sendiri menganggap hal tersebut wajar, Yoo Jung dewasa bahkan mengakui bahwa ia tidak merasa perlu mengerti perasaan orang lain, karena orang lainpun tak mau berusaha mengerti perasaanya. Jadi ketika ia membalas perbuatan jahat orang lain ia tak pernah berpikir bahwa hal itu akan “semenyakitkan itu” bagi orang tersebut.

Kegiatan memantrai diri dengan bilang jangan sedih mengingatkanku pula pada salah satu dari 8 mekanisme pertahanan diri ala Freud, yakni represi. Represi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri dengan cara menekan pengalaman-pengalaman yang tidak diinginkan kealam bawah sadar. Berdasarkan psikoanalisis Freud kita juga tahu bahwa pengalaman-pengalaman bawah sadar dari masa lalu bisa saja muncul dimasa yang akan datang dalam bentuk yang bisa jadi tidak kita inginkan, seperti trauma misalnya, atau perilaku menyimpang lainnya. Jika terus dilakukan, menekan perasaan sedih kealam bawah sadar dan tidak mengekspresikannya, bukan tidak mungkin dimasa mendatang kesedihan yang di repres tersebut akan muncul kembali dan berubah menjadi kelaian psikologis. Dalam kasus Yoo Jung pun seperti itu, represi emosi yang tidak dapat diekspresikan dari masa lalu muncul dimasa depan dalam bentuk perilaku antisosial yang menjadikannya tidak berempati pada perasaan orang lain.

Karenanya kurasa sangat penting bagi kita untuk dapat mengekspresikan emosi yang kita rasakan sesuai dengan porsinya dan tidak berlebihan. Kita tidak harus selalu dalam keadaan ‘positif’ setiap saat, pasti akan selalu ada saat dimana kita marah karena suatu hal, hal tersebut normal, marahlah asal jangan mendendam. Pun akan ada saat dimana kita sedih, itu juga normal, maka besedih dan menangislah asal jangan berlebihan. Mulailah menyayangi diri sendiri seutuhnya, bukan hanya pada saat merasakan bahagia saja kita melakukan pengakuan “aku bahagia”, pada saat sedihpun kita boleh membuat pengakuan pada diri sendiri “aku sedih”. Jadi ketika suatu saat nanti aku merasa sedih, aku akan mengakuinya, aku akan bilang pada diriku sendiri, ya aku merasa sedih, itu normal dan manusiawi, menangislah jika perlu karena itu akan membuat perasaanmu menjadi sedikit lega, telusuri akar permasalahannya, perbaiki jika masih bisa, selesaikan dan setelahnya kembalilah seperti sediakala.


Oke, orang dewasa paham bahwa praktik akan selalu berkali-kali lipat lebih sulit dibanding teori, apalagi berkenaan dengan kehidupan. Entah berapa deret kalimat bijak yang pernah kubaca sambil mengangguk-angguk dan berkata dalam hati “aku akan mempraktikkannya lusa”. Dan kalian tahu, sering saat lusa tiba aku bahkan tidak ingat apa yang telah kubaca kemarin. Untukku, sedikit pengalaman yang dicampur teori yang kutulis diatas semoga tak bernasib sama dengan deretan kalimat bijak yag kubaca kemarin itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar