“Mencintai
lebih kompleks dibandingkan menyukai, sehingga lebih sulit untuk diukur , lebih
membingungkan untuk diteliti. Orang mendambakannya, hidup untuknya, mati
untuknya.”
Kalimat diatas adalah definisi cinta dalam buku Psikologi
Sosial Robert A Baron & Donn Byrne jilid 1. Tahukah kalian bahwa Psikologi,
khususnya Psikologi Sosial juga menjadikan 'cinta' sebagai objek kajian,
bahwa cinta itu terdiri dari 2 jenis. Ada yang disebut Companionate Love, yakni jenis cinta yang bisa dibilang adalah
bentuk cinta sejati, serta ada pula yang disebut Passionate Love, yakni jenis cinta yang hanya dilandasi gairah
semata sehingga lebih bersifat fana.
Secara umum salah satu faktor yang membuat seseorang
tertarik kepada orang lain adalah karena adanya kemiripan diantara mereka, bisa
karena memiliki hobi yang sama, makanan kesukaan yang sama atau bahkan karena
berasal dari suku yang sama. Lalu adakah kemungkinan seseorang menyukai orang
yang justru memiliki perbedaan yang signifikan dengan dirinya, ambil contoh si
A yang penyuka makanan pedas jatuh cinta pada si B yang penyuka makanan manis,
atau si C yang penyuka film horor jatuh cinta pada si D yang bahkan sama sekali tak suka menonton film jenis apapun? Bukankah hubungan yang akan terjalin justru akan sangat berwarna,
sebuah hubungan yang saling melengkapi. Jawabannya mungkin saja, namun
berdasarkan penelitian secara umum seseorang akan lebih tertarik secara
personal kepada orang yang juga memiliki kesamaan dengan dirinya.
Dari pembukaan tentang definisi cinta diatas, kali ini
aku akan menceritakan kisah cinta driver ojek online yang telah beberapa kali
mengantarku ke kampus maupun ketempat kerja, Allah mentakdirkan jarak rumah kami cukup
berdekatan, sehingga tak jarang ketika aku memesan ojek online, beliaulah
driver yang tertangkap oleh radar .. hehe
Beliau bernama Pak Amin, telah cukup lama pensiun setelah
20 tahun lebih bekerja di sebuah perusahaan. Beliau memiliki 3 orang anak yang
semuanya telah menjadi sarjana, anak pertama sudah menikah dan memiliki seorang
anak, karenanya Pak Amin ini adalah seorang kakek, anaknya yang kedua
akan melangsungkan pernikahan beberapa bulan mendatang, sedangkan si
bungsu yang baru wisuda sedang menunggu panggilan kerja setelah selesai
melakukan wawancara beberapa hari sebelumnya.
Sore itu saat perjalan menuju kampus sepanjang jalan aku
mendengarkan kisah cinta Pak Amin, dimulai ketika pak Amin memberikan saran
yang membuatku spontan bertanya, “loh, kenapa memangnya pak?”
Pak Amin memberikan saran padaku jika kelak aku akan
menikah maka pilihlah orang yang berasal dari suku Jawa, pak Amin berkata kalau
orang Jawa itu rajin bekerja dan itu akan menjadi modal yang bagus dalam
berumah tangga. Meski secara terang-terangan pak Amin menyatakan bahwa orang
yang berasal dari suku Jawa itu lebih unggul, ternyata Pak Amin sendiri asli
Betawi, lahir serta tumbuh besar dilingkungan Betawi yang kental.
Beliau lalu bercerita bahwa istrinya adalah orang Jawa,
mereka bekerja di tempat yang sama. Pak Amin seorang mekanik sedang istrinya
adalah seoarang admin di perusahaan tersebut. Maka benarlah pepatah yang
mengatakan “buah jatuh tak jauh dari
pohonnya, jodoh berlabuh tak jauh dari lingkungannya”. Pun teori hubungan
interpersonal dalam psikologi sosial juga sepakat bahwa jarak yang dekat
memungkinkan manusia untuk lebih mudah berinteraksi, jika saling tertarik maka interaksi yang akan terjalin menjadi semakin intens dan pada akhirnya timbulkan
kelekatan sebagai bakal tunas yang nantinya dapat tumbuh menjadi cinta.
Kembali pada kisah cinta Pak Amin, meski Pak Amin dan
sang istri berasal dari suku yang berbeda, yang sudah pasti membuat mereka juga
memiliki beberapa sifat yang berbeda pula ( tak dapat di pungkiri, faktor
budaya yang melekat pada seorang individu akan berpengaruh besar terhadap sikap
yang dimilikinya), Pak Amin dan sang istri tetap saling jatuh cinta, sebuah hubungan
cinta yang saling melengkapi.
Tibalah saat dimana mereka berniat untuk menikah, keinginan
tersebut disampaikan kepada keluarga masing-masing, tak disangka kedua belah
pihak keluarga sama-sama menentang hubungan mereka. Penyebabnya adalah karena
perbedaan suku. Keluarga pak Amin memiliki stereotipe bahwa orang yang berasal
dari suku jawa itu matrelialistis, pun sama halnya dengan keluarga istri Pak
Amin, mereka memiliki stereotipe yang tak kalah mengherankan menurutku, bahwa
orang betawi itu pemalas dan tukang kawin.
Meski ditentang, karena perasaan cinta yang sungguh
mendalam mereka tetap melangsungkan pernikahan tanpa restu kedua belah pihak keluarga. Sampai
tiba saatnya setahun setelah pernikahan , istri pak Amin melahirkan anak
pertamanya, dengan intonasi sedih mengenang kejadian itu pak Amin bercerita
bahwa tak ada satupun keluarga dari pihak istri yang datang untuk menjenguk,
meski keluarga dari pihak Pak Amin telah lebih dulu luluh dan akhirnya memberikan restu. Dari kejadian itu Pak Amin bertekat untuk membuktikan kepada
keluarga sang istri bahwa anggapan mereka mengenai orang Betawi yang pemalas
dan tukang kawin itu salah dengan cara terus bekerja dengan giat dan selalu
menomorsatukan keluarga. Setelah kelahiran anak kedua barulah keluarga istri
Pak Amin mulai luluh, dan hingga detik ini mereka hidup rukun serta bahagia.
Dari kisah Pak Amin aku belajar bagaimana stereotipe itu
tak jarang menyesatkan penilaian kita terhadap orang lain, anggapan kita
terhadap orang lain menjadi tidak objektif dan hal itu jelas-jelas tidak adil
karena merugikan.
Apa itu stereotipe? Stereotipe adalah penilaian kita
terhadap seseorang berdasarkan karakteristik tertentu dari kelompok dimana
orang tersebut tinggal, dan sudah pasti stereotipe ini belum tentu benar. Dalam
kasus Pak Amin kita bisa lihat dengan jelas bagaimana stereotipe keluarga istri
pak Amin tentang orang Betawi yang malas dan tukang kawin berakibat pada cara
mereka menilai pak Amin. Ketika mereka beranggapan orang Betawi itu pemalas dan
tukang kawin maka secara otomatis, pak Amin yang juga orang betawi dicap sebagai pemalas dan tukang kawin pula. Padahal
kenyataannya waktu membuktikan bahwa anggapan tersebut salah, Pak Amin bukan
pemalas, ia jusru sangat giat bekerja bahkan hingga sekarang, usai pensiunpun
beliau tetap bekerja, beliau juga bukan tukang kawin, karena setelah
berpuluh-puluh tahun menikah toh Pak Amin tetap setia pada satu istri.
Jadi mari belajar dari kisah Pak Amin, bahwa kita tidak
boleh melakukan stereotiping pada seseorang, menilai seseorang hanya berdasarkan
tempat dimana orang tersebut berasal, atau dari kelompok dimana orang tersebut
tinggal. Meski tak dapat dipungkiri lingkungan tempat tinggal mempengaruhi
kepribadian seseorang namun jangan pula tutup mata bahwa banyak stereotipe yang
berkembang di masyarakat kebenarannya masih perlu dipertanyakan.
Psikologi Humanistik beranggapan bahwa setiap individu
itu unik, bahkan saudara kandung yang kembar identikpun pasti memiliki
perbedaan, jadi kita tidak boleh menyamarakatan seseorang dengan orang lain
meski itu dengan kelompok dimana orang tersebut lahir dan tumbuh sekalipun.
It's nice. Tergantung kepribadian masing". 😊
BalasHapus