Senin, 10 Juli 2017

Y O U A R E W H A T Y O U R E A D

Bumi Bulan Matahari Bintang, dan ...

“aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal. Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil, sesuatu yang menakjubkan. Namaku Raib, dan aku bisa menghilang”

Ini adalah cuplikan monolog perkenalan Raib, salah satu tokoh utama dalam buku pertama dari serial “BUMI” nya Tere Liye. Novel seri yang bergenre science fiction sekaligus fantasi ini mengisahkan tentang kehidupan di dunia yang diceritakan tidak sesederhana apa yang kita pikirkan. Pernah dengar tentang dunia paralel? Dunia yang kita tinggali ini terdiri dari empat klan yakni klan Bumi, klan Bulan, klan Matahari, serta klan Bintang. Semua kehidupan di keempat klan berjalan serempak tanpa saling bersinggungan. Macam komputer yang membuka empat atau lebih program. Kita tetap bisa menjalankannya bersamaan, membuka internet, mengetik di Ms. Word, menyetel musik, serta mengedit foto sekaligus. Serial Bumi ini meceritakan petualangan seru Raib, Seli dan Ali pergi ke keempat klan tersebut. Baca sendiri dan kalian akan ikut larut dalam petualangan menegangkan, seru, menakjubkan, serta penuh dengan pesan moral yang layak untuk dijadikan pelajaran hidup.

Aku mengoleksi serial ini sejak tahun 2014, itu adalah tahun dimana  Bumi yang merupakan buku pertama dari serial “Bumi” itu terbit, Bulan, Matahari serta Bintang terbit tiga tahun berturut-turut setelahnya.  Dan kejutannya adalah setelah Bintang habis terbaca akan ada buku selanjutnya yang belum dipastikan kapan waktu terbitnya.

Tere Liye adalah salah satu penulis favoritku. Kenapa? Karena melalui tulisan-tulisannya ia mengajarkanku sebagai pembacanya untuk percaya bahwa hal baik akan selalu menyertai kita yang berbuat baik, seperti didalam dongeng-dongeng. Cinderella misalnya, karena keberanian, kebaikan, serta kesabarannyalah pada akhirnya ia hidup bahagia dengan pangeran. Aku tipe yang seperti itu, tipe yang percaya happy ending dalam sebuah kehidupan itu ada selama kita selalu berusaha berbuat baik, tak peduli banyak orang yang sudah mulai skeptis memandang kebaikan, ada yang berkelakar bahwa hidup tak seindah tulisan Tere Liye, mereka bilang bahwa hidup itu keras. Berbuat curang, membalas dendam, membenci, mereka menganggap hal itu alamiah, bahwa wajar jika manusia normal melakukan hal seperti itu. Orang-orang yang berpandangan seperti itu kurasa adalah orag yang kurang banyak membaca buku. 

Tak hanya buku Tere Liye yang ku rekomendasikan, ada banyak buku lain yang dapat mengajari kita tentang kebijaksanaan dalam hidup, tentang pentingnya berbuat baik dalam hidup. Nomer satu yang paling aku rekomendasikan bagi yang muslim tentu adalah Al Qur’an, saya termasuk yang masih jarang membaca terjemahannya (jangan tanya tafsir, saya amat sangat awam dan itu menyedihkan), tapi setahu saya sebagian besar isi Al Qur’an adalah kisah-kisah, dalam surrah Al Kahfi misalnya, ini adalah surrah yang berisi tiga kisah sekaligus, pertama tentang para penghuni gua yang dikisahkan seperti memasuki lorong waktu, kemudian kisah nabi Musa yang ingin berguru kepada Nabi Khidir, serta kisah yang paling membuatku penasaran, kisah kaum Ya’juj dan Ma’juj yang dikurung disebuah tembok oleh nabi Dzulkarnain.



Cerita sedikit

 Kapan aku mulai gemar membaca?

Ketika SD, tak ada perpustakaan, buku pertama itu berada didalam sebuah lemari kaca ruang guru, sampul hijau dengan gambar seekor ikan, judulnya “Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi” buku yang mengajariku untuk tidak membantah nasihat orangtua, untuk mencintai saudara kita, serta tidak mementingkan diri sendiri. Dari satu buku itu aku jadi sangat gemar membaca, dan tak terhitung lagi berapa buku yang pernah kubaca.

Membaca membuatku berimajinasi, seringnya menjadi pemeran utama dalam buku yang kubaca, rasanya menyenangkan, bayangkan, seolah kau memiliki film yang hanya kau sendiri yang dapat melihatnya, karena film itu hanya berputar dikepalamu saja. Hal ini tak hanya berlaku ketika aku membaca serial fiksi. Semenjak kelas 3 SD aku sudah tertarik dengan pelajaran sejarah, aku ingat pada pelajaran sejarah kelas 3 SD banyak dibahas mengenai perjanjian-perjanjian antara Indonesia dan para penjajah yang berusaha menguasai Indonesia kembali pasca deklarasi kemerdekaan, aku juga berimajinasi mengenai berbagai perjanjian tersebut, Konferensi Meja Bundar yang menggunakan  meja bundar dikelilingi banyak orang, perjanjian Renville yang diadakan di geladak kapal perang, perjanjian Linggar jati dan lain-lain. Berlanjut hingga SMA pun aku lebih banyak lagi membaca buku yang berbau sejarah, politik, biografi tokoh-tokoh penting, hingga buku apa saja yang sekiranya membuatku tertarik.

Sungguh membaca memberikan banyak pemahaman yang baik, banyak kebijaksanaan hidup yang kau petik dari sebuah buku. Pernah dengar ungkapan “you are what you eat”? bahwa apa yang kamu makan itu menentukan kesehatanmu, sama halnya dengan buku, “you are what you read” bahwa apa yang kamu bacapun akan mempengaruhi bagaimana sikapmu.

Ngomong-ngomong

Soal membaca buku, ada fakta mencengangkan tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, yaitu :
1.   Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
2.   Riset berbeda bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Menurut saya hal paling mendasar yang menyebabkan minimnya minat baca masyarakat Indonesia adalah tidak adanya budaya membaca yang digalakkan sejak dini terutama dilingkungan keluarga, belakangan orangtua justru lebih banyak memberikan anak tontonan dari televisi. Kurangnya buku bacaan yang berkualitas terutama di daerah-daerah yang masih terpencil, serta pengaruh besar smartphone yang telah menggantikan banyak sisi kehidupan manusia juga berperan sangat sentral dalam hal ini.

Pentingnya membaca buku saya rasa perlu untuk disosialisasikan kepada masyarakat, buku berbeda dengan artikel yang dibaca diinternet, untuk membuat sebuah buku (yang bukan fiksi) dibutuhkan sangat banyak sekali buku lain sebagai acuan, serta penelitian bertahun-tahun. Berbeda dengan artikel yang kita baca diinternet, ada banyak yang memang berbobot, namun ada banyak pula yang penulisannya dilakukan tanpa dasar dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga bisa saja justru menyesatkan.


Ayo budayakan membaca buku, karena kata bang Tere Liye membaca jika tidak bermanfaat sekarang, suatu saat pasti akan bermanfaat, dan hal itu pernah saya rasakan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar