Rabu, 27 September 2017

Stereotipe Penghalang Cinta


“Mencintai lebih kompleks dibandingkan menyukai, sehingga lebih sulit untuk diukur , lebih membingungkan untuk diteliti. Orang mendambakannya, hidup untuknya, mati untuknya.”

            Kalimat diatas adalah definisi cinta dalam buku Psikologi Sosial Robert A Baron & Donn Byrne jilid 1. Tahukah kalian bahwa Psikologi, khususnya Psikologi Sosial juga menjadikan 'cinta' sebagai objek kajian, bahwa cinta itu terdiri dari 2 jenis. Ada yang disebut Companionate Love, yakni jenis cinta yang bisa dibilang adalah bentuk cinta sejati, serta ada pula yang disebut Passionate Love, yakni jenis cinta yang hanya dilandasi gairah semata sehingga lebih bersifat fana.
            Secara umum salah satu faktor yang membuat seseorang tertarik kepada orang lain adalah karena adanya kemiripan diantara mereka, bisa karena memiliki hobi yang sama, makanan kesukaan yang sama atau bahkan karena berasal dari suku yang sama. Lalu adakah kemungkinan seseorang menyukai orang yang justru memiliki perbedaan yang signifikan dengan dirinya, ambil contoh si A yang penyuka makanan pedas jatuh cinta pada si B yang penyuka makanan manis, atau si C yang penyuka film horor jatuh cinta pada si D yang bahkan sama sekali tak suka menonton film jenis apapun? Bukankah hubungan yang akan terjalin justru akan sangat berwarna, sebuah hubungan yang saling melengkapi. Jawabannya mungkin saja, namun berdasarkan penelitian secara umum seseorang akan lebih tertarik secara personal kepada orang yang juga memiliki kesamaan dengan dirinya.
            Dari pembukaan tentang definisi cinta diatas, kali ini aku akan menceritakan kisah cinta driver ojek online yang telah beberapa kali mengantarku ke kampus maupun ketempat kerja, Allah mentakdirkan jarak rumah kami cukup berdekatan, sehingga tak jarang ketika aku memesan ojek online, beliaulah driver yang tertangkap oleh radar .. hehe
            Beliau bernama Pak Amin, telah cukup lama pensiun setelah 20 tahun lebih bekerja di sebuah perusahaan. Beliau memiliki 3 orang anak yang semuanya telah menjadi sarjana, anak pertama sudah menikah dan memiliki seorang anak, karenanya Pak Amin ini adalah seorang kakek, anaknya yang kedua akan melangsungkan pernikahan beberapa bulan mendatang, sedangkan si bungsu yang baru wisuda sedang menunggu panggilan kerja setelah selesai melakukan wawancara beberapa hari sebelumnya.
            Sore itu saat perjalan menuju kampus sepanjang jalan aku mendengarkan kisah cinta Pak Amin, dimulai ketika pak Amin memberikan saran yang membuatku spontan bertanya, “loh, kenapa memangnya pak?”
            Pak Amin memberikan saran padaku jika kelak aku akan menikah maka pilihlah orang yang berasal dari suku Jawa, pak Amin berkata kalau orang Jawa itu rajin bekerja dan itu akan menjadi modal yang bagus dalam berumah tangga. Meski secara terang-terangan pak Amin menyatakan bahwa orang yang berasal dari suku Jawa itu lebih unggul, ternyata Pak Amin sendiri asli Betawi, lahir serta tumbuh besar dilingkungan Betawi yang kental.
            Beliau lalu bercerita bahwa istrinya adalah orang Jawa, mereka bekerja di tempat yang sama. Pak Amin seorang mekanik sedang istrinya adalah seoarang admin di perusahaan tersebut. Maka benarlah pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya, jodoh berlabuh tak jauh dari lingkungannya”. Pun teori hubungan interpersonal dalam psikologi sosial juga sepakat bahwa jarak yang dekat memungkinkan manusia untuk lebih mudah berinteraksi, jika saling tertarik maka interaksi yang akan terjalin menjadi semakin intens dan pada akhirnya timbulkan kelekatan sebagai bakal tunas yang nantinya dapat tumbuh menjadi cinta.
            Kembali pada kisah cinta Pak Amin, meski Pak Amin dan sang istri berasal dari suku yang berbeda, yang sudah pasti membuat mereka juga memiliki beberapa sifat yang berbeda pula ( tak dapat di pungkiri, faktor budaya yang melekat pada seorang individu akan berpengaruh besar terhadap sikap yang dimilikinya), Pak Amin dan sang istri tetap saling jatuh cinta, sebuah hubungan cinta yang saling melengkapi.
            Tibalah saat dimana mereka berniat untuk menikah, keinginan tersebut disampaikan kepada keluarga masing-masing, tak disangka kedua belah pihak keluarga sama-sama menentang hubungan mereka. Penyebabnya adalah karena perbedaan suku. Keluarga pak Amin memiliki stereotipe bahwa orang yang berasal dari suku jawa itu matrelialistis, pun sama halnya dengan keluarga istri Pak Amin, mereka memiliki stereotipe yang tak kalah mengherankan menurutku, bahwa orang betawi itu pemalas dan tukang kawin.
            Meski ditentang, karena perasaan cinta yang sungguh mendalam mereka tetap melangsungkan pernikahan tanpa restu kedua belah pihak keluarga. Sampai tiba saatnya setahun setelah pernikahan , istri pak Amin melahirkan anak pertamanya, dengan intonasi sedih mengenang kejadian itu pak Amin bercerita bahwa tak ada satupun keluarga dari pihak istri yang datang untuk menjenguk, meski keluarga dari pihak Pak Amin telah lebih dulu luluh dan akhirnya memberikan restu. Dari kejadian itu Pak Amin bertekat untuk membuktikan kepada keluarga sang istri bahwa anggapan mereka mengenai orang Betawi yang pemalas dan tukang kawin itu salah dengan cara terus bekerja dengan giat dan selalu menomorsatukan keluarga. Setelah kelahiran anak kedua barulah keluarga istri Pak Amin mulai luluh,  dan hingga detik ini mereka hidup rukun serta bahagia.
            Dari kisah Pak Amin aku belajar bagaimana stereotipe itu tak jarang menyesatkan penilaian kita terhadap orang lain, anggapan kita terhadap orang lain menjadi tidak objektif dan hal itu jelas-jelas tidak adil karena merugikan.
            Apa itu stereotipe? Stereotipe adalah penilaian kita terhadap seseorang berdasarkan karakteristik tertentu dari kelompok dimana orang tersebut tinggal, dan sudah pasti stereotipe ini belum tentu benar. Dalam kasus Pak Amin kita bisa lihat dengan jelas bagaimana stereotipe keluarga istri pak Amin tentang orang Betawi yang malas dan tukang kawin berakibat pada cara mereka menilai pak Amin. Ketika mereka beranggapan orang Betawi itu pemalas dan tukang kawin maka secara otomatis, pak Amin yang juga orang betawi  dicap sebagai pemalas dan tukang kawin pula. Padahal kenyataannya waktu membuktikan bahwa anggapan tersebut salah, Pak Amin bukan pemalas, ia jusru sangat giat bekerja bahkan hingga sekarang, usai pensiunpun beliau tetap bekerja, beliau juga bukan tukang kawin, karena setelah berpuluh-puluh tahun menikah toh Pak Amin tetap setia pada satu istri.
            Jadi mari belajar dari kisah Pak Amin, bahwa kita tidak boleh melakukan stereotiping pada seseorang, menilai seseorang hanya berdasarkan tempat dimana orang tersebut berasal, atau dari kelompok dimana orang tersebut tinggal. Meski tak dapat dipungkiri lingkungan tempat tinggal mempengaruhi kepribadian seseorang namun jangan pula tutup mata bahwa banyak stereotipe yang berkembang di masyarakat kebenarannya masih perlu dipertanyakan.

            Psikologi Humanistik beranggapan bahwa setiap individu itu unik, bahkan saudara kandung yang kembar identikpun pasti memiliki perbedaan, jadi kita tidak boleh menyamarakatan seseorang dengan orang lain meski itu dengan kelompok dimana orang tersebut lahir dan tumbuh sekalipun.


It's ok not to be ok

Sebagian besar orang, jika mengalami suatu kejadian khusus maka mereka akan sangat ekspresif menunjukkan keadaan emosi yang sedang mereka rasakan, sedih menangis, senang tertawa, marah membentak, galau termenung. Namun ada pula tipe orang yang tidak seekspresif itu berkaitan dengan emosi yang sedang ia rasakan.

Kemarin malam aku membaca beberapa artikel psikologi diinternet, ada sebuah kalimat yang membuatku sangat tertarik karena membuatku berpikir ulang mengenai kebiasaanku. Aku memiliki kebiasaan untuk berkata “tidak apa-apa” kediri sendiri ketika mengalami hal yang tidak menyenangkan. Termasuk ketika mengalami kondisi menyedihkan sekalipun, dengan sok ‘bukan manusia biasa’ aku akan berkata “sudah, jangan sedih” atau kalimat semacamnya,  yang intinya secara tidak langsung melarang diri sendiri ‘merasakan sedih’.  Lalu eng ing eng, tiba-tiba aku membaca sebuah kalimat yang berbunyi “it’s ok not to be ok”  dengan imbuhan kalimat “Rememember to be kind to yourself too”.

Dengan melarang diri sendiri merasa sedih apakah artinya aku sudah berbuat baik pada diriku sendiri? Selama ini aku menolak ‘not to be ok’ dan selalu memaksa diri sendiri untuk ‘it’s ok’.  Padahal ‘it’s ok not to be ok’ kok. Mmmm ??? Jadi mari kita bongkar

Dimulai dari definisi emosi itu sendiri, emosi dalam bahasa latin memiliki arti “move out” (bergerak keluar). Emosi (emotion) merupakan gabungan kata e untuk energi dan motion untuk pergerakan, sehingga emosi menggerakkan kita untuk bertindak agar dapat bertahan dari ancaman, mendapat kedekatan sosial, dan prokreasi (Gentry, 2007).

Ya, jadi emosilah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ataupun menghindari suatu situasi. Maka dapat dikatakan normal ketika seseorang yang sedih karena patah hati kemudian menangis, atau orang yang takut ketika melihat ular kemudian lari terbirit-birit.

Jadi jika kamu patah hati dan merasa sedih lalu bilang kediri sendiri “sudah, tidak apa-apa jangan sedih” itu tidaklah dibenarkan. Karena akan menjadi tidak normal ketika alarm yang diberikan adalah emosi sedih namun tingkah laku yang ditunjukkan justru biasa-biasa saja atau malah gembira. Lain cerita jika kita mengidap apa yang disebut Alexithymia yakni gangguan psikologis dimana pengidapnya tidak mampu untuk mengidentifikasi serta mendiskripsikan secara verbal emosi yang dialaminya.

Ada yang pernah nonton drama korea berjudul Cheese In The Trap? Aku pernah, dan menurutku pemeran utama laki-laki dalam drama tersebut mengalami Alexithymia, Yoo Jung kecil hanya diperbolehkan menunjukkan perilaku ramah didepan semua orang, sehingga ketika ia marah ia tidak menunjukkan kemarahannya. Meski tak menunjukkan kemarahannya ia tetap dendam dan akan balik membalas dengan cara-cara yang bisa dibilang sadis namun ia sendiri menganggap hal tersebut wajar, Yoo Jung dewasa bahkan mengakui bahwa ia tidak merasa perlu mengerti perasaan orang lain, karena orang lainpun tak mau berusaha mengerti perasaanya. Jadi ketika ia membalas perbuatan jahat orang lain ia tak pernah berpikir bahwa hal itu akan “semenyakitkan itu” bagi orang tersebut.

Kegiatan memantrai diri dengan bilang jangan sedih mengingatkanku pula pada salah satu dari 8 mekanisme pertahanan diri ala Freud, yakni represi. Represi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri dengan cara menekan pengalaman-pengalaman yang tidak diinginkan kealam bawah sadar. Berdasarkan psikoanalisis Freud kita juga tahu bahwa pengalaman-pengalaman bawah sadar dari masa lalu bisa saja muncul dimasa yang akan datang dalam bentuk yang bisa jadi tidak kita inginkan, seperti trauma misalnya, atau perilaku menyimpang lainnya. Jika terus dilakukan, menekan perasaan sedih kealam bawah sadar dan tidak mengekspresikannya, bukan tidak mungkin dimasa mendatang kesedihan yang di repres tersebut akan muncul kembali dan berubah menjadi kelaian psikologis. Dalam kasus Yoo Jung pun seperti itu, represi emosi yang tidak dapat diekspresikan dari masa lalu muncul dimasa depan dalam bentuk perilaku antisosial yang menjadikannya tidak berempati pada perasaan orang lain.

Karenanya kurasa sangat penting bagi kita untuk dapat mengekspresikan emosi yang kita rasakan sesuai dengan porsinya dan tidak berlebihan. Kita tidak harus selalu dalam keadaan ‘positif’ setiap saat, pasti akan selalu ada saat dimana kita marah karena suatu hal, hal tersebut normal, marahlah asal jangan mendendam. Pun akan ada saat dimana kita sedih, itu juga normal, maka besedih dan menangislah asal jangan berlebihan. Mulailah menyayangi diri sendiri seutuhnya, bukan hanya pada saat merasakan bahagia saja kita melakukan pengakuan “aku bahagia”, pada saat sedihpun kita boleh membuat pengakuan pada diri sendiri “aku sedih”. Jadi ketika suatu saat nanti aku merasa sedih, aku akan mengakuinya, aku akan bilang pada diriku sendiri, ya aku merasa sedih, itu normal dan manusiawi, menangislah jika perlu karena itu akan membuat perasaanmu menjadi sedikit lega, telusuri akar permasalahannya, perbaiki jika masih bisa, selesaikan dan setelahnya kembalilah seperti sediakala.


Oke, orang dewasa paham bahwa praktik akan selalu berkali-kali lipat lebih sulit dibanding teori, apalagi berkenaan dengan kehidupan. Entah berapa deret kalimat bijak yang pernah kubaca sambil mengangguk-angguk dan berkata dalam hati “aku akan mempraktikkannya lusa”. Dan kalian tahu, sering saat lusa tiba aku bahkan tidak ingat apa yang telah kubaca kemarin. Untukku, sedikit pengalaman yang dicampur teori yang kutulis diatas semoga tak bernasib sama dengan deretan kalimat bijak yag kubaca kemarin itu.