Bumi Bulan
Matahari Bintang, dan ...
“aku sama seperti remaja kebanyakan, kecuali satu hal.
Sesuatu yang kusimpan sendiri sejak kecil, sesuatu yang menakjubkan. Namaku
Raib, dan aku bisa menghilang”
Ini adalah cuplikan monolog perkenalan Raib, salah satu tokoh
utama dalam buku pertama dari serial “BUMI” nya Tere Liye. Novel seri yang
bergenre science fiction sekaligus fantasi ini mengisahkan tentang kehidupan di
dunia yang diceritakan tidak sesederhana apa yang kita pikirkan. Pernah dengar
tentang dunia paralel? Dunia yang kita tinggali ini terdiri dari empat klan
yakni klan Bumi, klan Bulan, klan Matahari, serta klan Bintang. Semua kehidupan
di keempat klan berjalan serempak tanpa saling bersinggungan. Macam komputer
yang membuka empat atau lebih program. Kita tetap bisa menjalankannya
bersamaan, membuka internet, mengetik di Ms. Word, menyetel musik, serta
mengedit foto sekaligus. Serial Bumi ini meceritakan petualangan seru Raib,
Seli dan Ali pergi ke keempat klan tersebut. Baca sendiri dan kalian akan ikut
larut dalam petualangan menegangkan, seru, menakjubkan, serta penuh dengan
pesan moral yang layak untuk dijadikan pelajaran hidup.
Aku mengoleksi serial ini sejak tahun 2014, itu adalah tahun
dimana Bumi yang merupakan buku pertama
dari serial “Bumi” itu terbit, Bulan, Matahari serta Bintang terbit tiga tahun
berturut-turut setelahnya. Dan
kejutannya adalah setelah Bintang habis terbaca akan ada buku selanjutnya yang
belum dipastikan kapan waktu terbitnya.
Tere Liye adalah salah satu penulis favoritku. Kenapa? Karena
melalui tulisan-tulisannya ia mengajarkanku sebagai pembacanya untuk percaya
bahwa hal baik akan selalu menyertai kita yang berbuat baik, seperti didalam
dongeng-dongeng. Cinderella misalnya, karena keberanian, kebaikan, serta
kesabarannyalah pada akhirnya ia hidup bahagia dengan pangeran. Aku tipe yang
seperti itu, tipe yang percaya happy ending dalam sebuah kehidupan itu ada
selama kita selalu berusaha berbuat baik, tak peduli banyak orang yang sudah
mulai skeptis memandang kebaikan, ada yang berkelakar bahwa hidup tak seindah
tulisan Tere Liye, mereka bilang bahwa hidup itu keras. Berbuat curang,
membalas dendam, membenci, mereka menganggap hal itu alamiah, bahwa wajar jika
manusia normal melakukan hal seperti itu. Orang-orang yang berpandangan seperti
itu kurasa adalah orag yang kurang banyak membaca buku.
Tak hanya buku Tere
Liye yang ku rekomendasikan, ada banyak buku lain yang dapat mengajari kita
tentang kebijaksanaan dalam hidup, tentang pentingnya berbuat baik dalam hidup.
Nomer satu yang paling aku rekomendasikan bagi yang muslim tentu adalah Al
Qur’an, saya termasuk yang masih jarang membaca terjemahannya (jangan tanya
tafsir, saya amat sangat awam dan itu menyedihkan), tapi setahu saya sebagian
besar isi Al Qur’an adalah kisah-kisah, dalam surrah Al Kahfi misalnya, ini
adalah surrah yang berisi tiga kisah sekaligus, pertama tentang para penghuni
gua yang dikisahkan seperti memasuki lorong waktu, kemudian kisah nabi Musa
yang ingin berguru kepada Nabi Khidir, serta kisah yang paling membuatku
penasaran, kisah kaum Ya’juj dan Ma’juj yang dikurung disebuah tembok oleh nabi
Dzulkarnain.
Cerita sedikit
Kapan aku mulai gemar membaca?
Ketika SD, tak ada perpustakaan, buku pertama itu berada
didalam sebuah lemari kaca ruang guru, sampul hijau dengan gambar seekor ikan,
judulnya “Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi” buku yang mengajariku untuk tidak
membantah nasihat orangtua, untuk mencintai saudara kita, serta tidak
mementingkan diri sendiri. Dari satu buku itu aku jadi sangat gemar membaca,
dan tak terhitung lagi berapa buku yang pernah kubaca.
Membaca membuatku berimajinasi, seringnya menjadi pemeran
utama dalam buku yang kubaca, rasanya menyenangkan, bayangkan, seolah kau
memiliki film yang hanya kau sendiri yang dapat melihatnya, karena film itu hanya
berputar dikepalamu saja. Hal ini tak hanya berlaku ketika aku membaca serial
fiksi. Semenjak kelas 3 SD aku sudah tertarik dengan pelajaran sejarah, aku
ingat pada pelajaran sejarah kelas 3 SD banyak dibahas mengenai
perjanjian-perjanjian antara Indonesia dan para penjajah yang berusaha
menguasai Indonesia kembali pasca deklarasi kemerdekaan, aku juga berimajinasi
mengenai berbagai perjanjian tersebut, Konferensi Meja Bundar yang
menggunakan meja bundar dikelilingi
banyak orang, perjanjian Renville yang diadakan di geladak kapal perang,
perjanjian Linggar jati dan lain-lain. Berlanjut hingga SMA pun aku lebih
banyak lagi membaca buku yang berbau sejarah, politik, biografi tokoh-tokoh
penting, hingga buku apa saja yang sekiranya membuatku tertarik.
Sungguh membaca memberikan banyak pemahaman yang baik, banyak
kebijaksanaan hidup yang kau petik dari sebuah buku. Pernah dengar ungkapan
“you are what you eat”? bahwa apa yang kamu makan itu menentukan kesehatanmu,
sama halnya dengan buku, “you are what you read” bahwa apa yang kamu bacapun
akan mempengaruhi bagaimana sikapmu.
Ngomong-ngomong
Soal membaca buku, ada fakta mencengangkan
tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, yaitu :
1.
Menurut
data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya
0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
2.
Riset
berbeda bertajuk "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan
oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia
dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Menurut
saya hal paling mendasar yang menyebabkan minimnya minat baca masyarakat
Indonesia adalah tidak adanya budaya membaca yang digalakkan sejak dini
terutama dilingkungan keluarga, belakangan orangtua justru lebih banyak
memberikan anak tontonan dari televisi. Kurangnya buku bacaan yang berkualitas
terutama di daerah-daerah yang masih terpencil, serta pengaruh besar smartphone
yang telah menggantikan banyak sisi kehidupan manusia juga berperan sangat
sentral dalam hal ini.
Pentingnya
membaca buku saya rasa perlu untuk disosialisasikan kepada masyarakat, buku
berbeda dengan artikel yang dibaca diinternet, untuk membuat sebuah buku (yang
bukan fiksi) dibutuhkan sangat banyak sekali buku lain sebagai acuan, serta penelitian
bertahun-tahun. Berbeda dengan artikel yang kita baca diinternet, ada banyak
yang memang berbobot, namun ada banyak pula yang penulisannya dilakukan tanpa
dasar dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga bisa saja justru
menyesatkan.
Ayo
budayakan membaca buku, karena kata bang Tere Liye membaca jika tidak
bermanfaat sekarang, suatu saat pasti akan bermanfaat, dan hal itu pernah saya
rasakan.