Minggu, 31 Mei 2015

Cita-Cita Yang Inkonsisten




Cita-cita saya sampai saat ini sudah berubah beberapa kali. Inkonsisten ? Ya ! Saya akui. Tapi semuanya menyesuaikan  kondisi yang saya alami sehingga  mempengaruhi perubahan cita cita saya.

Cita cita pertama saya adalah menjadi seorang dokter. Kenapa menjadi seorang dokter? Karena di kampung kelahiran saya hanya ada seorang bidan saja, tidak ada dokter. Apabila kita sakit parah maka kita harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk sampai ke dokter. Itu cukup menyulitkan mengingat transportasi dikampung masih sangat minim. Bayangkan saja, tidak ada angkutan umum, yang ada hanyalah mobil truk besar yang lewat sesekali dalam sehari, kalaupun ada mobil yang rutin datang setiap pagi, itu adalah sebuah mobil bak terbuka pengantar anak sekolah yang memang sudah disewa secara khusus untuk dipergunakan oleh anak-anak yang bersekolah ditingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, yang jaraknyapun hampir sama jauhnya dengan tempat praktik dokter.

Cita cita itu tetap bertahan sampai akhirnya saya pindah dari kampung halaman tercinta ketempat tingggal saya yang sekarang. Kenapa berubah? Itu karena disini ada banyak sekali dokter, klinik yang buka 24 jam pun bertebaran dimana mana, karena itu cita-cita saya berubah. Perubahan cita-cita itu terjadi ketika saya kelas 2 SMP. Berubah menjadi apa? Presiden. 

Ya, presiden! Saya ingin menjadi seorang presiden. Kenapa?

Saya termasuk anak yang suka menonton acara berita di televisi, kesemrawutan negara, ketidakadilan hukum, kasus korupsi yang merajalela, ditambah sistem pendidikan yang menurut saya sebagai seorang pelajar pada kala itu merasa ada yang salah.

Saya tidak suka ketika menjelang Ujian Nasional tiba saya diberikan tugas yang sangat menumpuk oleh hampir semua guru pada semua mata pelajaran. Saya tidak suka jika ada oknum guru atau petugas sekolah merokok diarea sekolah. Saya tidak suka keharusan murid membeli buku LKS yang memberatkan sebagian orangtua murid, khususnya yang kurang mampu. Dan yang paling tidak masuk diakal saya adalah kegiatan Masa Orientasi Siswa yang harus diikuti oleh semua murid baru disekolah, entah itu Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas. Bahkan murid Sekolah Dasar pun sekarang diharuskan mengikuti MOS.

Yang tidak saya suka dari MOS adalah isi dari acara tersebut yang membuat saya berpikir ‘dimana nilai pendidikannya??’ Ini pengalaman saya, saya beserta murid-murid baru diharuskan menggunakan kaus kaki beda warna antara kiri dan kanan, menguncir ramput dengan pita dari sedotan sebanyak tanggal lahir, menggunakan topi dari baskom. Itu baru atribut yang harus dikenakan, belum lagi ketika sampai disana kita diharuskan melakukan sesuatu yang menurut saya sama sekali tidak ada nilai pendidikannya.

Jalan jongkok, menceburkan diri kedalam sungai yang keruh dengan tambahan muka diolesi lumpur, waktu untuk sholat dihitung, kakak kelas yang bertugas sebagai panitia MOS bukan bersikap manis justru galak dan menindas, tak segan pula membentak. Jadi acara MOS itu dimana nilai pendidikannya??

Kala itu saya berpikir bahwa jika saya menjadi presiden saya akan bisa membenahi semuanya dengan mudah, dengan sangat mudah. Namun sekarang dengan kesadaran yang tinggi saya tahu itu tidak mudah, bahkan sangat tidak mudah.

Ketika menginjak bangku Sekolah Menengah Atas  saya kemudian merencanakan langkah –langkah untuk menggapai  cita-cita saya ini.

Langkah pertama tentu lulus SMA, kemudian melanjutkan ke perguruan Tinggi  Negri mengambil jurusan Hubungan Internasional, setelah lulus meniti karir menjadi seorang Duta Besar lantas setelah tercapai keinginan menjadi Duta Besar saya akan kembali ke Indonesia dan mulai terjun kedunia politik guna mencapai cita-cita menjadi presiden. Untuk menjadi presiden saya harus mempunyai tunggangan, yakni sebuah partai politik. Kalaupun tidak, maka jika kelak ada undang-undang yang tidak mengharuskan calon presiden berasal dari partai politik alias independen, maka saya akan menjadi orang pertama yang mencalonkan diri menjadi capres independen terebut. Saya bahkan telah menargetkan tahun dimana saya berharap pada tahun tersebut cita-cita saya menjadi presiden dapat terlaksana. 2035.

Tapi rencana tinggal rencana, Allah berketentuan lain .. saya tidak lolos SNMPTN, sebenarnya masih ada kesempatan untuk mengikuti SBMPTN, tapi percuma .. tak ada biaya bahkan hanya untuk membayar registrasi sebesar 250 ribu. Kalaupun dikesempatan pertama saya lulus SNMPTN maka bisa dipastikan itu tidak akan saya ambil.

Dan disinilah saya sekarang, menjadi seorang buruh pabrik dengan predikat karyawan tetap. Alhamdulillah .. Allah melancarkan jalan saya, setelah lulus SMA saya beserta beberapa teman sekelas mengikuti pelatihan kerja di sebuah lembaga pelatihan kerja milik pemerintah secara gratis selama satu setengah bulan, setelah selesai masa pelatihan saya mengirimkan beberapa surat lamaran kerja entah itu secara langsung dengan mendatangi pabrik-pabrik dikawasan indutri dekat tempat tinggal saya maupun mengirimkan lamaran kerja saya melalui kantor pos.

Dua minggu setelah mengirimkan lamaran, saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes di sebuah pabrik, berjalan sampai tahap wawancara , dan tepat pada tanggal 14 Agustus 2013 saya resmi bekerja di pabrik tersebut secara kontrak selama tiga bulan.

Tiga bulan berjalan lancar dengan sedikit air mata, namun saya bertahan dan mendapat seragam kerja serba putih, itu pertanda bahwa saya telah resmi diangkat menjadi karyawan tetap di pabrik tersebut.

’ Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan’. Meski cita-cita saya sedikit terhambat dengan keharusan bekerja terlebih dahulu saya tetap semangat dan tetap menjaga semangat saya untuk melanjutkan pendidikan saya.

Hingga kesempatan itu tiba, saya bisa bekerja sambil kuliah dihari minggu. Saya ambil kesempatan itu . Namun hanya berjalan 2 bulan sampai pada akhirnya saya ditegur oleh atasan yang mengatakan saya diperbolehkan untuk kuliah asal jangan menganggu pekerjaan saya meskipun itu dihari minggu, karena meskipun itu hari minggu, hari dimana kita bekerja lembur dan tidak ada kewajiban untuk masuk kerja, mereka tetap membutuhkan tenaga saya.

Saya berhenti kuliah.

Akhir tahun saya mendapatkan kabar dari seorang teman sekelas ketika SMA, dia telah hijrah. Hijrah dalam segi pakaian, dan perilaku. Sungguh, sayapun ingin berpakaian syar’i, pakaian yang sesuai dengan syariat, bahkan semenjak masih SMA ketika sekilas melihat seorang kakak alumni yang berpakain syar'i, pakaian sederhana nan cantik.

Saya bulatkan tekad, tekad untuk berhijrah serta tekad untuk tetap istiqomah. Dan seperti inilah saya sekarang, berpakaian syar’i serta berusaha menjaga pergaulan dengan lawan jenis, berusaha lebih banyak mendengar siaran kajian dibanding menonton televisi, lebih banyak mengoleksi buku ilmu pengetahuan baik umum maupun agama, serta berusaha berteman dengan teman-teman yang semoga jika Allah izinkan kelak kami akan dipertemukan kembali didalam Jannah-Nya.

Akhir tahun 2013 hingga sekarang menjelang pertengahan 2015. Diwaktu yang masih sangat singkat ini, dan entah masih ada waktu lagi atau tidak dimasa depan karena hanya Allah yang mengetahui tentang hari esok, saya berharap dan telah bertekad tetap istiqomah.

Dan inilah saat dimana cita-cita saya berubah. InsyaAllah untuk yang terakhir kalinya. Saya ingin mendapat kesempatan memasuki surga Allah dengan menjadi istri yang sholihah.

Mengenal jalan indah ini, membuat saya memahami bahwa tujuan hidup ini adalah menghamba kepada Allah sebagai Dzat yang telah menciptakan saya. ‘Saya dengar dan saya taat’ itulah yang seharusnya dilakukan seorang hamba.

Cita-cita saya memang telah berubah, tapi semangat saya untuk melanjutkan pendidikan tidak pernah redup, awal tahun ini saya mengikuti seleksi masuk ke sebuah Peguruan Tinggi Swasta pada gelombang pertama. Awalnya saya sedikit bingung menentukan jurusan yang akan saya ambil karena tidak ada jurusan yang benar-benar sesuai dengan  minat saya.

Setelah berkonsultasi dengan kenalan yang saya anggap bisa memberi saya nasihat dan merenung panjang setelahnya serta berdoa kepada Allah tentunya, saya mantap mengambil jurusan Psikologi.
Meski kelak setelah menjadi seorang istri saya tidak bekerja di luar dan menjadi ibu rumah tangga, maka ilmu saya akan tetap terpakai untuk merawat serta mendidik anak-anak saya kelak dimasa depan.

Saat ini adalah masa menunggu bagi saya, setelah dinyatakan lulus seleksi, sesuai rencana dari pihak kampus, OSPEK akan diadakan akhir bulan Agustus dan perkuliahan akan dimulai pada bulan September.

Ini tidak akan menjadi mudah, saya tahu itu sejak awal, mengingat saya juga bekerja hampir setiap hari, sedangkan kegiatan perkuliahan akan dilaksanan setiap hari senin sampai Jum’at. Tapi saya tidak akan menyerah, saya pasti bisa. Modal saya adalah berdoa kepada Allah dengan meluruskan niat kuliah untuk mendapatkan ilmu bukan gelar serta doa dari orangtua yang InsyaAllah ampuh.